part. twenty two | Membonceng Edgar

14 2 0
                                    

Hari menyebalkan seusai hari menyenangkan, apalagi kalau bukan hari Senin? Namun Senin kali ini tampak beda. Tersorot seorang gadis tidak seperti biasanya bangun terlambat. Ia terbangun di jam 5.45, walaupun biasanya setengah 6.30. Lumayan, ada sedikit kemajuan.

Seragam putih abu telah melekat di badannya beserta atribut lengkap. Aleyna duduk menyantap sarapan bersama Papa, Mama dan adik tercinta. "Pagi, Mah, Pah dan, Riel," ucapnya lesu ketika sapaan kepada orang terakhir.

"Pagi juga sayang," sahut Ucup dan Linda.

"Tumben nih Kak bangunnya ga disiram aer dulu?" tanya Ariel yang mulai memancing keributan.

Aleyna menarik kursi lalu duduk di sana. "Kita harus makin baik dari hari yang sebelumnya kan?" kata bijak Aleyna di awal hari. Ariel memutar bola matanya malas. Ia menyimak wajah kakaknya yang senyam-senyum. Biasanya sih cemberut mulu. Lagi ada mood-nya nih pasti.

Beberapa saat kemudian di akhir suapan, terdengar suara ketukan pintu. Linda yang sudah selesai pun sigap untuk membukanya.

"Eh, Jeng? Ada apa pagi-pagi begini? Yuk masuk," ajak Linda.

Vita yang berdiri di depan pintu menolak, ia bilang, "Gapapa, Jeng Lin. Disini aja. Anu saya mau minta tolong boleh?"

"Minta tolong apa Jeng?"

***

"Mah, Tante, kita berangkat dulu, ya! Assalamu'alaikum!"

"Waalaikumsalam! Hati-hati, ya!" seru Vita dan Linda bersamaan. Kemudian menyaksikan anak mereka perlahan lenyap dari pandangan.

"Makasih banyak ya, Jeng. Edgar disuruh gurunya pergi cepet buat urusin event sekolah. Kalau aja Abraham ada, Edgar bisa pergi pagi bareng dia," kata Novita.

"Sama-sama, Jeng. Tapi kenapa ngga minta anter sama adeknya yang jago moge itu?" ujar Linda mempertanyakan anak Vita yang lain.

"Aaron? Oh, bukan adek toh Jeng. Tapi kakaknya Edgar. Edgar mah anak bungsu."

"Oh? Jadi dia kakaknya?" kata Linda agak kaget.

Sedangkan anak mereka sibuk berbincang di atas motor. Dari balik kaca helm Aleyna menyembunyikan giginya yang mengering karena tertawa terus. Mereka bercanda membahas hal random seperti teman akrab biasanya.

"Terus Karaxie pas kecil giginya habis ompong semua Kak?"

"Iya, terus rambutnya pendek mirip Dora. Bawel pula anaknya, banyak sok tau emang kayak Dora beneran," seru Edgar sambil tertawa terbahak-bahak.

Aleyna pun ikut tertawa membayangkan childhood Karaxie. Tawanya sangat menggelegar dibandingkan tawa Edgar yang selow tapi receh didengar. "Astaghfirullah, kita ngegibahin Karaxie loh, haha," sadar Edgar tiba-tiba.

"Astaghfirullah, loh iya ya Kak. Aku jadi ikutan ketawa tadi," kekeh Aleyna.

"Allahummaghfir lanaa wa lahuu," doa lantunan lelaki di belakangnya itu yang terdengar jelas meskipun dibaca agak berbisik. Aleyna langsung ikut membacanya.

"Masya Allah. Kuatnya iman cowok di belakang gue ini. Berharap bener modelan dia jadi imam gue kelak. Eh gajadi modelan kayak dia deng, langsung aja dia nya jadi imam gue."

Aleyna memecah keheningan sekaligus keseriusan yang membuatnya sakit perut. Sejujurnya baru kali ini ia bisa menunjukkan sifat aslinya tanpa ditutup-tutupi kepada seorang lelaki. Pembicaraannya dengan Edgar seperti teman akrab yang sudah lama bersahabat. Entah bagaimana, tiba-tiba saja sebuah pertanyaan muncul dibenaknya.

ALEYNA [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang