part. twenty seven | Belajar Bersama

14 1 0
                                    

Lagi dan lagi, Malvin merenung di pojokan seraya memeluk lututnya yang dingin. Lelaki itu menopangkan dagunya di sana dengan tatapan kosong menghadap lantai. Kali ini bukan kegalauan atas Savaira-melainkan sikap Aaron yang terlihat biasa-biasa saja. Mengapa lelaki itu tidak memukulnya habis-habisan?


Terdengar langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Lamunannya tidak terlalu dalam sampai-sampai membuat tuli. Malvin membuyarkan lamunannya tatkala Jarvis menghampirinya.

"Sayang, jangan ngambek lagi dong. Aku kangen sama kamu." Sedari tadi Jarvis sibuk mengirimi Karaxie pesan suara tiada henti. Berbagai kata manis ia kirim meskipun ceklist satu. Malvin menepuk jidatnya hampir lupa. "HP Karaxie mati jadi gak bisa bales chat lo. Dia bilang mampir aja ke rumah mumpung kosong," jelas Malvin menyampaikan pesan gadis itu.

Jarvis mengumpat, "Sial! Kenapa ga bilang daritadi? Abis gua kayak orang dongo ngirim vn ke hp yang mati."

Lelaki dengan jaket hitam itu membanting pintu keras keluar. HP-nya ia kantongi ke dalam saku jeans-nya. Dengan bergaya ia bermotor sekencangnya menuju rumah pacar tercinta.

Sahutan dan umpatan geram menghujaninya sepanjang jalan akibat suara moge yang menyakiti telinga di malam hari. Orang-orang yang akan terlelap dari tidurnya malah terbangun karenanya. Sedikit berguna bagi penjaga kios pinggir jalan, dengan hal ini mereka akan membelalakkan matanya. Jarvis justru makin mengencangkan tunggangannya. Baginya, hal begini sangat menyenangkan.

Setibanya Jarvis memarkirkan moge-nya di depan pintu rumah Karaxie yang terbuka lebar. Deg! Ia panik. Jantungnya berdegup kencang. Matanya terbelalak. Jarvis memikirkan hal aneh apa yang dilakukan pacarnya di dalam sana. Apakah Karaxie bergantung diri karena kegalauannya yang lama? Ataukah gadis itu meneguk pembersih toilet? Dengan langkah tegap Jarvis pun mengecek keadaan di dalam dan menemukan Karaxie duduk anteng di sofa.

Karaxie mendongakkan kepalanya tatkala pacarnya itu datang tiba-tiba. Ia jauhkan ponsel dari hadapannya lalu menatap Jarvis heran, "Dateng juga kamu kesini?"

Tanpa aba-aba Jarvis langsung memeluk Karaxie sehingga sontak berdiri. Sudah berapa lama ia merindukan tubuh ini, rasanya tak ingin lagi berjarak. Jarvis benar-benar melupakan keegoisannya saat ini. Karaxie mendekapnya erat.

"I miss u,"

"I miss u too, really."

"Maafin aku, by. Bener-bener aku ngga bisa jauh dari kamu. Selama jauh dari kamu, hati aku beneran hampa," ungkap Jarvis dengan matanya yang berkaca-kaca.

Karaxie memegang erat tangan lelaki itu. Ia menatap sepasang matanya dalam. "Maafin aku juga, ya, J? Aku yang kelewat batas, aku lupa kalau aku juga punya kamu."

Jarvis tersenyum tipis. Ia menghela nafas lega. Hilang rasanya segala sesak yang ada di dada. Kini penyakitnya sudah menemukan obatnya-sakit rindu.

Lelaki itu melirik tas dan penampilan Karaxie yang rapih malam ini. Jarvis peka. Lantas ia menarik tangannya keluar. "Ayo kita dinner di luar. Ada banyak hal yang mau aku ceritain."

👒💐

Lebih baik dipusingkan oleh Matematika atau Bahasa Inggris? Atau lebih baik pusing karena doi? Sejujurnya ketiganya TIDAK bagi Aleyna. Justru karena hadirnya Edgar di Bahasa Inggris jadinya ia memilihnya. Bahkan Aleyna akan menyukai semua hal apabila mencakup Edgar di dalamnya.

Sedari tadi matanya tidak fokus ke apa yang diajarkan Edgar. Ia hanya menatap ke wajah si sumber suara. Mereka berhadapan, hanya saja Edgar tidak menatapnya balik karena fokus dengan buku.

ALEYNA [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang