Aleyna melihat jalan yang tak biasa ia lewati, lantas berprotes, "Lo mau bawa gue kemana? Jangan macem-macem!"
"Lo bilang kebelet pipis di chat tadi? Nih udah sampe." Aleyna turun sementara Aaron memarkirkan mogenya. Sembunyi-sembunyi, gadis itu mencoba menelepon orang di rumah namun gagal. Setelah tidak ada sinyal HP-nya pun mati. Aleyna membuang nafas kasar, badannya terbungkuk pasrah.
"Ayo, masuk." Aaron menarik tangan Aleyna namun langsung dihempaskan oleh si empu. "Biar gue jalan sendiri," katanya.
Aleyna mengerjapkan matanya tatkala melihat pohon di sekeliling. Ia menyadari saat ini dirinya dibawa ke hutan.
"Lo bawa gue ke hutan, HAH?"
Aaron hanya diam tetap memimpin jalan. Yang bisa dilihat hanya punggung lebar lelaki itu. Aleyna mendumel, "Denger, ya! Gue diem buat ngehargain lo karena lo kakaknya Edgar. Kalo ngga, udah gue teriakin maling disini!"
Aaron menutup kedua telinganya tanpa melihat sumber suara. Ia tetap berjalan dengan gagahnya. "Tenang, gue bukan cowok brengsek yang bakal macem-macem. Dan harap diem, lo lagi ada di hutan. Jangan berisik sampe bikin penghuni sini keganggu."
Aleyna mengunci mulutnya rapat. Kita bisa saja membenci seseorang, namun belum tentu tiap yang dikatakannya salah. Ucapan Aaron benar. Lupakan siapa yang memberitahu tapi dengarkan apa yang ia katakan.
Setelah perjalanan kaki yang cukup panjang, mereka pun sampai di puncak. Ya, Aaron membawa Aleyna ke atas tebing di sore hari. Entah kesambet apa hingga lelaki itu membawanya kesini. Apakah ia ingin mengajak mati bersama jika cintanya ditolak?
Aleyna melihat ke dasar yang sangat dalam. Tubuhnya seakan-akan jatuh tertiup angin. Kedua kakinya terasa lemas. "Lo mau kayak Romeo dan Juliet yang mati bareng-bareng? Bedanya kita ngelompat ke tanah, kalau mereka ke aer."
"Sejak kapan lo dan gue jadi kita?"
"Sejak ta—"Aleyna mendengkus kesal. Menghentikan perkataannya barusan. "Ih, apaansi! Tapi lo seneng kan gue bilang gitu?"
Aaron melengos. Ia mengibarkan jaketnya. Masih dengan outfit yang biasa ia pakai, celana jeans robek dan jaket kulit andalannya. Sederhana, tapi sangat memikat hati para gadis. Semua gadis—kecuali gadis yang sekarang ini berada dengannya. Tak sedikitpun wajah cantiknya berpaling ke arahnya.
Suara angin yang berderu kencang dan helaan nafas membuang segala beban berat hari ini. Detik-detik matahari akan menenggelamkan dirinya dan menanggalkan sinar yang begitu indah, si senja.
"Lo gatau kan tempat ini apa? Makanya jangan mendem di rumah mulu ngintipin adek gue," ledek Aaron yang membuat Aleyna memanyunkan bibirnya.
"Kalo lo punya masalah or tired, rajin-rajin deh kesini. Balik-balik pasti plong." Aaron melirik Aleyna yang belum mencerna perkataannya. Gadis itu masih manyun dengan wajah yang tertutupi oleh helaian rambut hitam indahnya karena tiupan angin.
"Tarik nafas dalem-dalem... hembuskan..."
Fuuhhhh
"Pikirin apa yang membebani lo saat ini, lalu teriakin sekuat mungkin."
Aleyna ternganga kaget seraya melihat wajah tirus di depannya, "Hah? Teriak? Gila lo! Gue gamau kayak orgil, ntar didenger orang gimana? Maloe!"
"Kaga ada yang denger. Disini cuma ada gue, lo, dan Tuhan," paparnya. Aaron melihat mata jernih milik Aleyna yang tidak terlihat lelah sedikitpun.
"Gak. Gue gapunya masalah."
"Good, hidup mah dibawa santai aja kagak usah dibawa ribet, contohnya kayak gue nih. Bernafas dengan tentram, like a easy-going people."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALEYNA [ ON GOING ]
Teen FictionPerihal crushing people memang sering didengar, bisa terjadi di sekolah, tempat kerja, bahkan dengan seseorang yang baru dikenal. Tapi pernah ngga sih lo ngecrushin tetangga depan rumah? Well, this is about it. ...