Bab 2

3.3K 302 9
                                    


Akhirnya Prilly tiba di apartemennya setelah terjebak macet nyaris 1 jam lebih. Untung saja Prilly naik taksi jadi ia tidak perlu repot-repot selama berada di dalam taksi ia hanya memejamkan matanya.

"Akhirnya bisa rebahan juga." Terdengar suara lenguhannya ketika merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa begitu kaku.

Prilly memilih memejamkan matanya sejenak sebelum beranjak ke dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya diatas sofa yang ada diruang tengah apartemennya. Ia membeli apartemen ini sekitar satu tahun yang lalu secara cash. Selama bekerja di AN Group, Prilly merasa kehidupannya benar-benar berubah drastis.

Dulu, kehidupannya sangat melarat bahkan ia sempat tidak makan nasi berhari-hari hanya karena tidak memiliki uang untuk membeli beras. Ia hanya bergantung pada upah hariannya ketika bekerja di salah satu pabrik kecil yang ada di pinggiran kota.

Prilly berasal dari desa yang jaraknya lumayan jauh dari kota. Ia tinggal bersama Ibu dan seorang adik laki-laki hingga akhirnya ia memutuskan untuk merantau dan bekerja di kota meninggalkan Ibu dan Adiknya di desa.

Namun begitu setiap bulannya Prilly rutin mengirimkan uang untuk keluarganya ia bahkan meminta Ibunya untuk menyisihkan sebagian uang ia kirimkan untuk ia jadikan modal di kemudian hari. Prilly tak selamanya berencana bekerja dan tinggal di kota, ia ingin menghabiskan sisa usianya di desa dengan menikahi pemuda disana lalu punya anak dan hidup bahagia disana.

Membayangkan kebahagiaan di masa tuanya membuat Prilly selalu bersemangat untuk bekerja.

Prilly masih betah memejamkan matanya di atas sofa tubuhnya benar-benar lelah bahkan beranjak ke kamar saja ia sudah tidak sanggup hingga akhirnya Prilly terlelap di atas sofa masih dengan mengenakan pakaian kerjanya. Beginilah kehidupan seorang Prilly yang tidak banyak orang tahu, gadis itu pekerja keras namun merasa sangat kesepian.

Tidak ada yang benar-benar memperhatikannya bahkan Ibunya sekalipun. Mereka hanya tahu jika hidup Prilly sangat enak dan nyaman tanpa menghiraukan beban mental yang selama ini ia pikul. Nanti saja akan ia ceritakan bagaimana beratnya hidup seorang Prilly.

*****

"Papa kenapa Ma?"

Santi menoleh menatap putranya yang baru saja pulang dengan helaan nafas berat. "Sampai kapan kamu hidup dengan berfoya-foya seperti ini Nak?" Tanyanya dengan suara yang begitu lelah.

Dia Aliandra Nasution, anak semata wayang Andre dan Santi yang kini berusia 27 tahun namun masih 'pengangguran'. Ali merupakan seorang arsitek namun sayangnya ia tidak mempergunakan keahliannya dalam mendesain untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah, laki-laki itu justru tertarik menghabiskan uang Ayahnya dari pada mencari uang sendiri.

"Mama jangan mulai deh." Ujar Ali malas. "Ali cuma bantuin Papa habisin uangnya aja loh masak Mama salahin sih." Lanjutnya dengan begitu santai.

Santi kembali menghela nafasnya. Putranya ini benar-benar membuatnya sakit kepala. "Kamu pikir Mama nggak tahu apa yang selama ini kamu lakukan hm? Daripada kamu habisin uang suami Mama untuk membiayai hidup jalang-jalang kamu itu mending uangnya Mama kasih anak yatim biar berkah." Omel Santi sambil menunjuk-nunjuk putranya kesal.

"Mereka juga anak yatim loh Ma." Sahut Ali yang nyaris membuat Santi melayangkan pukulannya namun Ali terlebih dahulu berlari menghindari pukulan Ibunya.

"Perduli setan mereka anak yatim atau bukan! Yang pasti Mama benar-benar nggak ikhlas dunia akhirat uang hasil keringat suami Mama kamu hamburin buat mereka para jalang itu!" Raung Santi pada putranya.

"Suami Mama itu Papa aku loh kalau Mama lupa." Ali masih menyahut sebelum sandal Ibunya melayang dan mengenai tepat di kepalanya. Pria itu tampak memekik kesakitan namun ia tak berani membuang sandal yang jatuh di kakinya karena Santi sudah bersiap ingin melemparnya dengan satu sandal yang tersisa.

"Berani kamu buang sandal Mama bukan cuma kepala atas kamu yang Mama lempar ya?" Ancam Santi tak main-main.

Ali mencibir pelan sambil melindungi benda pusaka. "Jangan main-main Ma! Ini masa depan aku buat kasih Mama cucu."

"Ogah Mama punya cucu dari jalang!" Tolak Santi kejam.

"Mama mereka bukan jalangnya aku loh! Aku cuma bantu mereka nggak lebih."

"Halah omongan buaya!" Ejek Santi sebelum beranjak memasuki kamarnya dimana suaminya sedang beristirahat.

Ali sontak tertawa geli melihat Ibunya yang selalu suka mencari gara-gara dengan dirinya padahal ia sudah mengorbankan waktu mainnya supaya bisa pulang cepat malam ini.

"I love you Nyonya Santi Nasution!" Teriak Ali kencang sebelum berlari menaiki tangga menuju kamarnya.

Ali menghempaskan tubuhnya diatas ranjang sambil menghela nafas. Ia mulai kepikiran perkataan Ibunya tentang kehidupannya yang terlalu santai dan berfoya-foya.

"Nanti aja deh gue kerja pas ada cewek yang benar-benar bisa bikin gue berubah." Gumam Ali sebelum memejamkan matanya.

"Lebih baik hidup gue kayak gini daripada gue setia ujung-ujungnya gue dimanfaatin terus ditinggalin." Lanjutnya lagi. Tidak ada yang tahu bagaimana Ali berjuang melawan rasa sakitnya setelah wanita yang amat ia cintai memilih pergi disaat mereka sedang bahagia-bahagianya.

Ali pernah menjadikan seorang wanita layaknya ratu didalam hidupnya namun sayangnya segala upaya dan usaha yang Ali lakukan untuk membahagiakan dirinya ternyata tidak mampu membuat wanita itu untuk tetap tinggal.

"Sorry Al, gue nggak bisa lepasin impian gue hanya demi lo."

Impian katanya? Disaat Ali justru menjadikan kebersamaan mereka sebagai impiannya dimasa depan tetapi wanita itu justru mencampakkan Ali dengan begitu teganya.

Ali menghembuskan nafasnya sebelum beranjak dari posisinya. Ia tidak bisa terlelap jika bayangan menyakitkan itu kembali, lebih baik ia mandi lalu menghabiskan satu bungkus rokoknya.

Ali melangkah menuju kamar mandinya dengan wajah lesu, jika diluar sana ia terkenal dengan keplay-boyannya namun ketika sendirian seperti ini, Ali tak lebih dari pria sadboy. Menyedihkan sekali.

*****

My Boss🔥Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang