Bab 17

1.7K 246 16
                                    


Setelah perdebatan mereka pagi hari tadi sampai menjelang makan siang Ali dan Prilly kompak saling mendiamkan satu sama lain. Namun begitu mereka masih bisa bersikap profesional ketika meninjau lokasi yang akan mereka beli untuk membangun resort.

"Jadi luas keseluruhan lahannya berapa Pak?" Tanya Ali begitu mereka tiba di lokasi. Pria itu terlihat begitu tampan dengan kacamata hitam membingkai wajahnya. Penampilan Ali juga begitu mempesona hingga menarik perhatian gadis-gadis desa yang seperti sengaja mengikuti kemana pria kota itu pergi.

Prilly juga tak kalah manis dengan jeans serta kaos lengan panjang dengan rambut dicepol membuat penampilan Prilly terlihat seperti remaja. Gadis itu juga mengenakan kacamata hitam karena terlalu silau akibat cahaya matahari yang begitu terik.

"Lebih kurang sekitar 10 hektar Pak." Jawab Pak Burhan. "Tapi kami sudah sepakat hanya menjual sebagiannya saja karena sebagiannya lagi akan kami jadikan tempat wisata jika resort sudah selesai dibangun." Jelas Pak Burhan yang terdengar menarik ditelinga Ali.

Beberapa kali kepala pria itu terlihat mengangguk-angguk. "Jika pembangunan resort berjalan lancar tanpa kendala saya bersedia membantu warga desa untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh penduduk desa ini." Ali mengarahkan pandangannya kearah depan lalu menunjuk kearah danau yang terletak tak jauh dari tempat mereka. "Danau itu bisa menjadi salah satu objek wisata yang bisa dikembangkan untuk menarik perhatian masyarakat luar."

Prilly tanpa sadar tak bisa melepaskan tatapannya dari laki-laki didepannya ini. Jika sedang serius Ali tidak terlibat menyebalkan justru aura pria itu menguar begitu hebat hingga membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat.

Jangan salah paham! Prilly hanya mengatakan apa yang ia lihat, ia memuji kecerdasan Ali bukan sifat playboy pria itu.

Pak Burhan tampak begitu sumringah mendengar penjelasan dari Ali. Pria itu semakin bersemangat saja untuk melakukan tindakan-tindakan yang akan mensejahterakan masyarakatnya.

"Terima kasih sekali Pak. Kami benar-benar sangat berterima kasih sama Pak Ali dan juga Ibu Prilly." Ujar Pak Burhan yang dibalas senyuman serta anggukan kepala oleh Ali dan Prilly.

Mereka kembali melangkah menyusuri lahan yang akan mereka bangun. Prilly terlihat begitu sibuk dengan kamera yang menggantung dilehernya sehingga ia tidak terlalu memperhatikan langkahnya. Prilly harus mendapatkan beberapa gambar untuk ia perlihatkan pada klien mereka.

Ali juga terlihat begitu menikmati pekerjaan yang sedang ia tekuni itu ternyata desa yang mereka kunjungi tidak sekolot yang ada dipikirannya. Disini sudah tersedia fasilitas yang cukup memadai hanya saja penduduk disini masih belum terlalu mengenal dunia luar, mereka sangat jarang berpergian sehingga desa mereka terasa seperti desa dimasa lampau.

Brak!

"Aw!" Prilly memekik kesakitan saat kakinya terperosok ke dalam dalam lubang hingga membuat tubuhnya oleng dan jatuh ke tanah.

Ali dan Pak Burhan sontak menoleh saat mendengar pekikan Prilly. Ali refleks berlari menghampiri Prilly yang meringis sambil memegang kameranya.

"Lo nggak apa-apa?" Tanya Ali yang terlihat sekali khawatir. Prilly menggelengkan kepalanya tanpa menoleh menatap Ali, ia sibuk memeriksa kameranya. "Syukurlah kameranya aman." Desah Prilly yang membuat Ali terpaku dengan mata membulat menatap Prilly dengan tatapan tak percaya.

"Lo masih bisa mikirin kamera butut lo disaat kondisi lo kayak gini?" Tanya Ali tak percaya.

Kali ini Prilly mendongak menatap Ali yang menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Tanggung jawab atas pekerjaan adalah segalanya buat saya." Jawab Prilly dengan wajah datarnya.

Ali melepaskan kacamata lalu berdiri dengan kedua tangan bertumpu di pinggang, keduanya kembali terlibat dalam perdebatan sengit hingga membuat Pak Burhan mengurungkan langkahnya untuk mendekati 'pasangan' itu.

"Gila! Ternyata selain sombong lo juga bego ya?" Hina Ali yang sama sekali tidak digubris oleh Prilly. Gadis itu berusaha menarik kaki kanannya yang masih terperosok di dalam lubang. Wajahnya tampak memerah antara menahan rasa sakit juga cuaca yang begitu panas.

Menyadari betapa kerasnya kepala gadis itu mau tidak mau membuat Ali menghela nafasnya dan kembali berjongkok kali ini pria itu memilih bungkam bahkan ketika Prilly sudah berada dalam gendongannya. Prilly juga tak mengeluarkan protesnya karena ia sadar jika ia tidak mungkin bisa kembali ke penginapan tanpa bantuan pria ini.

"Pak kita balik ke penginapan dulu, nanti kita lanjutkan surveinya." Ujar Ali pada Pak Burhan.

"Baik Pak. Silahkan, saya akan meminta warga memanggil Mbah Ija untuk mengurut pergelangan kaki Ibu Prilly." Ucap Pak Burhan yang diangguki oleh Ali. "Baik Pak. Terima kasih." Ucapnya lalu melangkah menuju penginapan.

******

Kedua manusia itu masih sama-sama mempertahankan egonya bahkan sampai penginapan keduanya masih sama-sama bungkam tidak ada yang ingin mengalah.

Sekuat tenaga Prilly menahan ringisannya saat Ali membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Prilly ingin beranjak dari posisinya namun dengan cepat Ali menahan bahunya. "Biar gue aja." Katanya singkat lalu berjongkok disebelah ranjang untuk melepaskan sepatu yang masih membungkus kedua kaki Prilly.

Kembali keheningan menyelimuti, Ali yang biasanya sibuk mengoceh pun tampak tak berminat memulai percakapan. Ia masih kesal, jangan tanyakan penyebab dirinya kesal karena sampai lusa pun Ali tidak akan menjawabnya.

"Terima kasih Pak."

"Gue bukan Bapak-bapak!" Protes Ali yang membuat Prilly mengerutkan keningnya, jika bukan Bapak terus ia ia harus memanggil Ali apa? Ibu? Begitu?

"Panggil gue Ali atau Mas Al juga boleh." Wajah tampan itu kembali berbinar dan Prilly seketika bergidik ngeri. Aura playboy pria ini sungguh membuat matanya sakit.

Prilly memilih tidak merespon perkataan Ali hingga membuat pria itu mendengus pelan, rasa kesalnya kembali muncul namun sebelum mulutnya kembali mencerca Prilly tiba-tiba pintu penginapan mereka diketuk dari luar.

Ali segera beranjak untuk membuka pintu penginapan. "Saya Mbah Ija yang diminta Pak Burhan untuk mengurut istri Tuan muda." Jelas wanita paruh baya itu pada Ali.

"Silahkan masuk Mbah, Prilly ada didalam."

Kening Mbah Ija tampak berkerut. "Maksud saya istri saya ada di dalam." Ralat Ali ketika wanita paruh baya dihadapannya ini terlihat kebingungan ketika Ali menyebut nama Prilly.

"Istri saya namanya Prilly Mbah." Ali kembali berkata saat mengantar Mbah Ija menuju kamar dimana Prilly berada.

"Iya Tuan--"

"Ali. Cukup panggil saya Ali saja jangan tuan muda." Ali merasa tidak nyaman ketika dipanggil tuan muda karena menurutnya di desa ini ia bukan siapa-siapa lagipula usianya juga sudah tidak terlalu muda lagi.

"Baiklah Nak Ali, kalau begitu Mbah izin periksa istrinya dulu siapa tahu selain terkilir istri Nak Ali juga sedang berbadan dua." Mbah Ija pamit dari hadapan Ali yang terkejut dengan perkataan si Mbah.

"Badan dua? Badan si Prilly ada dua gitu?" Beonya sendiri namun tiba-tiba Ali menepuk dahi lebarnya. "Maksudnya Prilly hamil? Lah gimana ceritanya gue goyangin aja belum." Ujarnya vulgar sebelum mengikuti si Mbah ke dalam kamar.

Ali ingin memastikan sendiri bagaimana kondisi Prilly, sebenarnya ia juga penasaran apakah gadis keras kepala itu akan menjerit atau bahkan menangis ketika si Mbah mengurut pergelangan kakinya.

"Kalau lo nangis gue ketawain tujuh hari tujuh malam lo." Ucap Ali sambil melangkah menuju ke kamar.

*****

My Boss🔥Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang