Bab 3

2.7K 287 9
                                    

Pagi menjelang dengan suasana yang begitu dingin dikarenakan semalam suntuk daerah ibukota diguyur hujan. Seorang gadis yang sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja tampak menghela nafasnya.

"Kayaknya gue harus bawa mobil sendiri." Keluhnya sambil menatap keluar jendela apartemennya. "Tapi males banget bawa mobil ke kantor." Kembali suara keluhan itu terdengar.

Prilly tampak menatap sendu keluar jendela, menatap derasnya hujan yang membuat hatinya tenang sekaligus rindu. Ia merindukan kehidupannya di kampung, jika hujan seperti ini biasanya ia akan berkeliling kampung dengan mengayuh sepeda miliknya.

Drtt..drt...

Suara deringan ponselnya terdengar membuat Prilly beranjak menuju meja diruang tamu dimana ponselnya ia letakkan sejak tadi malam. Keningnya tampak berkerut saat melihat nama Ibunya tertera disana, biasanya Ibunya paling pantang menghubungi dirinya apalagi pagi-pagi seperti ini.

Ada apa ya? Bathin Prilly bertanya-tanya.

"Halo Bu.." Sapa Prilly begitu menjawab panggilan dari Ibunya.

"Halo! Kenapa kamu lama sekali menjawab telepon Ibu?" Terdengar suara marah Ibunya diseberang sana yang membuat Prilly menghela nafasnya.

Ia belum menceritakan bagaimana watak Ibunya, wanita yang melahirkannya ke dunia itu memiliki sikap tempramen yang buruk. Ibunya mudah sekali kesal terutama pada dirinya. Prilly tidak tahu apa yang membuat Ibunya bersikap seperti ini padanya.

"Tadi aku lagi di kamar mandi Bu." Alasan Prilly supaya Ibunya berhenti mengomelinya di pagi buta seperti ini.

"Alasan kamu itu!" Prilly memilih diam. "Jadi apa yang Ibu ingin sampaikan?" Tanyanya memotong omelan sang Ibu.

"Ibu butuh uang!"

Kening Prilly sontak berkerut, bukannya baru minggu lalu mengirimi Ibunya uang, seingatnya bulan ini ia bahkan menambah nominal lebih dari biasanya tapi kenapa Ibunya kembali meminta uang padanya?

"Tapi kan minggu kemarin aku udah ngirimin Ibu uang."

"Kamu pikir uang 5 juta kamu itu cukup untuk membiayai hidup Ibu sama adik kamu? Jangan pelit kamu jadi anak!" Sahut Ibu Prilly membentak anaknya.

"Ya sudah nanti aku kirim lagi." Prilly memilih mengalah, sejujurnya ia tidak masalah mengirimi Ibunya uang hanya saja terkadang ia ingin Ibunya menghubungi dirinya untuk menanyakan kabarnya alih-alih langsung menodong uang seperti ini.

"Siang nanti uangnya harus sudah kamu kirim Ibu nggak mau tahu!"

"Iya Bu."

"Ya sudah! Ibu tutup teleponnya!"

Tut.

Dan panggilan benar-benar terputus bahkan sebelum Prilly mengucapkan salam. Prilly tersenyum miris menatap ponselnya yang sudah padam. Selalu seperti ini, terkadang ia merasa jika dirinya hanyalah mesin pencari uang untuk Ibunya.

"Ibu kenapa nggak nanya dulu, hari ini aku capek nggak? Pekerjaanku gimana? Aku sehatkah disini?" Lirih Prilly dengan mata menatap sendu ponselnya.

"Prilly juga lelah Bu. Prilly capek! Prilly juga butuh Ibu sayang!" Dan pagi itu terdengar isakan lirih dari seorang putri yang merasa sakit karena diabaikan oleh Ibunya sendiri.

Sosok kuat dan dingin seperti Prilly juga memiliki hati yang rapuh hanya saja ia dipaksa oleh keadaan untuk terus bersikap kuat seolah semuanya baik-baik saja padahal jauh di dalam lubuk hatinya, ia juga ingin diperhatikan. Ia ingin disayang oleh Ibunya.

*****

Pukul 8 pagi Prilly sudah berada di kantor. Ia melupakan sejenak perihal masalah pribadinya, ia harus fokus bekerja supaya ia bisa memiliki banyak uang yang akan terus ia kirimkan untuk membiayai kehidupan Ibu dan Adiknya di desa.

Prilly sedang menyusun berkas-berkas yang harus ditandatangani oleh Andre yang kebetulan belum datang. Sepertinya kondisi kesehatan Bosnya itu benar-benar sedang bermasalah.

Prilly akan menghubungi Bosnya nanti jika memang harus ia akan mendatangi kediaman Nasution untuk meminta tanda tangan Andre karena pekerjaannya hari ini tidak bisa di tunda terlebih perusahaan yang akan menjalin kerjasama dengan mereka terus mendesak supaya proyek ini segera dilaksanakan.

Prilly sendiri sudah terbiasa bekerja dibawah tekanan juga desakan waktu seperti ini jadi ia terlihat santai saja meskipun terkadang ia juga merasa pusing sendiri dengan berbagai tingkah klien mereka.

Seperti saat ini, dimana ponselnya terus berdering menandakan sebuah panggilan masuk dari Pak Salman yang merupakan salah satu perwakilan dari perusahaan yang akan menjalin kerjasama dengan mereka yang terus menghubungi dirinya sejak tadi malam.

Prilly menghela nafasnya lalu dengan berat hati ia menjawab panggilan telepon tersebut. "Halo, selamat pagi Pak Salman, ada yang bisa saya bantu?" Sapa Prilly formal seperti biasanya.

Prilly bukannya tidak sadar jika pria paruh baya ini menaruh hati padanya, ia tidak heran karena bukan hanya Salman yang melakukan hal-hal menjijikan seperti ini, Prilly sudah terbiasa bahkan sejak awal menjadi sekretaris Andre ia sudah mendapat banyak ajakan dari klien mereka.

Namun sayangnya, Prilly bukan wanita seperti itu jadi dengan tegas ia akan menolak apapun hubungan selain pekerjaan.

"Siang ini kamu kosong kan?"

"Maaf Pak, saya harus membereskan pekerjaan saya." Tolak Prilly terang-terangan. "Kalau tidak ada hal penting lain yang ingin Bapak bicarakan saya tutup teleponnya. Selamat pagi Pak Salman."

Tut.

Dan Prilly benar-benar memutuskan sambungan teleponnya. Terdengar helaan nafas berat dari mulutnya, sifat tegasnya yang seperti inilah yang kerap kali membuat para pria yang ingin mendekatinya berakhir dengan menghujat dirinya. Prilly bukannya sombong atau sok cantik hanya saja ia sedang menjaga harga dirinya sebagai seorang perempuan terhormat. Meksipun berasal dari kampung tapi baginya harga diri tetap nomor satu.

Prilly kembali melanjutkan pekerjaannya. Setelah menyiapkan segala keperluan dan berkas yang harus ditanda tangani oleh Andre, akhirnya Prilly memberanikan dirinya untuk menghubungi Bosnya yang belum menampakkan dirinya di kantor. Jika bukan karena sakit tidak mungkin Andre sampai tidak datang ke kantor.

Bosnya itu sangat disiplin dan profesional.

"Selamat pagi Pak." Sapa Prilly begitu sambungan telponnya dijawab oleh Andre. "Mohon maaf Pak menganggu kenyamanan Bapak tapi saya harus bertemu dengan Bapak karena beberapa berkas yang harus Bapak tanda tangani." Sejujurnya, Prilly merasa tidak enak juga namun harus bagaimana lagi ia benar-benar tidak bisa mengundur waktu.

Terdengar helaan nafas berat Andre diseberang sana sebelum berujar. "Tidak apa-apa itu sudah menjadi tanggung jawab saya sebagai pemimpin tapi bisakah kamu datang kerumah saya karena sepertinya hari ini saya benar-benar tidak bisa datang ke kantor." Ujar Andre yang langsung disetujui oleh Prilly.

"Baik Pak. Sebenar lagi saya akan datang kerumah Bapak dan membawa berkas-berkas yang harus Bapak tanda tangani." Jawab Prilly setelahnya panggilan terputus dan Prilly bersiap untuk mendatangi kediaman Nasution.

Prilly membawa setumpuk berkas yang memang harus ditandatangani oleh Andre hari ini juga, untung saja ia membawa mobilnya hari ini. Prilly sengaja membawa sedan mungilnya karena kemungkinan besar sebentar lagi ia akan berpisah dengan mobil kesayangannya itu.

Benar, Prilly akan menjual mobil itu lalu uangnya akan ia kirimkan untuk Ibunya. Ia tidak ingin Ibunya kesusahan disana, ia akan melakukan apapun demi kebahagiaan Ibu dan Adiknya namun sayangnya mereka justru tidak mempedulikan Prilly sama sekali.

Sepanjang perjalanan menuju parkiran Prilly terlihat melangkah dengan wajah datar khas dirinya, ia bisa mendengar bisikan penuh hinaan yang ditujukan padanya mengiringi langkah kakinya namun Prilly sama sekali tidak menanggapinya karena hinaan yang mereka tujukan untuknya justru akan ia jadikan sebagai pacuan semangat supaya ia semakin sukses kedepannya.

Cara terbaik membalas hinaan orang lain adalah dengan sebuah kesuksesan dan Prilly akan membuktikan hal itu suatu saat nanti.

"Modal cantik doang belagu!"

"Gue yakin dia pasti nyodorin tubuhnya sama Pak Andre makanya dijadiiin sekretaris beliau."

"Iyuh menjijikan sekali!"

Cukup diam dan abaikan!

*****

My Boss🔥Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang