Bab 10

2K 249 8
                                    


"Ibu! Ibu!"

"Ibu di halaman belakang!"

Suara teriakan ibu dan anak itu terdengar memecahkan kesunyian di pagi hari. "Ibu kenapa belum kirim uangnya ke Baron?" Tanya sang anak begitu melihat Ibunya.

Anggita sang Ibu menoleh menatap putra bungsunya. "Mbak mu belum kirim uang." Jawabnya sebelum kembali menyelesaikan pekerjaannya.

Anggita Ibunda Prilly sangat menyukai bunga sehingga halaman belakang rumahnya sengaja ia jadikan sebagai taman kecil dimana ia bisa menyalurkan hobi menanamnya itu.

Satria si bungsu tampak mendengus kesal mendengar jawaban sang Ibu. "Ibu telepon lagi Mbak Prilly kenapa sih? Mbak Prilly kalau nggak Ibu telepon mana mungkin dia kirim uang Buk!" Protesnya pada sang Ibu. Satria sangat kesal karena temannya Baron sudah menodongnya dari semalam.

Ia sedang membangun bisnis bersama temannya itu sehingga ia memerlukan banyak duit untuk menjalankan niatnya. Satria tidak ingin lagi dihina karena bergantung hidup pada sang Kakak, jadilah ia membuka usaha bersama temannya.

"Nanti Ibu telepon Mbak kamu." Jawab Anggita sekenanya. Sebenarnya ia juga marah pada putri sulungnya, Prilly seperti mempermainkan dirinya padahal ia sudah mewanti-wanti dari jauh-jauh hari kalau ia memerlukan uang.

"Dasar anak tidak tahu untung!" Dumel Anggita sambil memisahkan bunga-bunganya. "Uang segitu aja susah banget dikirim! Perhitungan banget sama keluarga."

Satria mendekati Ibunya. "Mbak Prilly emang nggak tahu terima kasih Bu, udah untung kita masih mau anggap dia keluarga setelah apa yang ia perbuat bersama--"

"Diam kamu Satria!" Anggita menatap tajam putranya. "Ibu sudah berkali-kali ingetin kamu untuk nggak ngungkit-ngungkit lagi masalah itu!"

Satria menatap malas Ibunya. "Yayaya aku ngerti kenapa Ibu nggak mau bahas masalah itu. Ibu malu kan punya anak perempuan bekasan orang? Mbak Prilly itu udah nggak suci lagi Buk!" Ujar Satria terang-terangan.

"Satria!" Tegur Anggita pada putranya. "Daripada kamu menganggu Ibu mending kamu mandi sana sudah sore ini." Anggita menyuruh putranya untuk pergi karena ia merasa tidak nyaman ketika Satria mulai membahas masalah itu.

Satria mengibaskan tangannya lalu beranjak dari sisi Ibunya. "Intinya aku nggak mau gara-gara Mbak Prilly telat ngirim uangnya, usaha aku kacau." Katanya sebelum benar-benar beranjak meninggalkan Ibunya.

Anggita menatap kepergian putra bungsunya dengan tatapan tajam sebelum kembali memfokuskan tatapannya pada bunga-bunga miliknya. Ia seperti terlempar kembali ke masa lalu dimana ia menemukan putri sulungnya dalam keadaan mengenaskan di gubuk yang tidak tahu dari perkampungan mereka.

Anggita dulunya sangat membanggakan putrinya namun sayangnya setelah kejadian itu ia merasa jijik pada putrinya sendiri. Prilly sudah melemparkan kotoran ke wajahnya jadi sangat sulit untuk dirinya menyayangi Prilly seperti semula.

Hingga akhirnya putri sulungnya memilih merantau ke kota demi kenyamanan dirinya juga kelurganya yang benar-benar sudah tidak lagi mengharapkan kehadirannya. Jujur, sampai saat ini Anggita masih sangat membenci putrinya.

"Sudahlah ini bukan salahmu Anggita! Dia yang salah! Putrimu memilih menjadi wanita murahan sehingga wajar jika kamu membencinya." Ujar Anggita menyemangati dirinya sendiri meskipun jauh di dalam lubuk hatinya rasa bersalah itu kerap kali hadir setelah ia melakukan hal buruk pada putrinya namun Anggita memilih abai karena menurutnya Prilly pantas mendapatkan hal itu.

*****

Kembali ke kota dimana Prilly sedang memikirkan banyak cara supaya ia bisa segera bebas dari keluarga Nasution, ia ingin pulang dan tidur dengan nyaman di apartemennya namun sayangnya sejak tadi Santi seperti sengaja tidak membiarkan dirinya pergi.

Setelah meninggalkan kantor tadi, Prilly mengira ia akan segera diantar pulang oleh keluarga Bosnya itu ternyata ia salah, alih-alih mengarahkan mobilnya ke apartemen Prilly, Santi justru meminta supirnya untuk membawa mereka ke restoran mewah yang sudah menjadi tempat favorit keluarga konglomerat itu.

Ali juga masih mengikuti orang tuanya, pria itu masih mengenakan pakaian pagi tadi namun aura ketampanannya masih begitu kental tak berkurang sedikitpun meskipun Ali belum mandi.

"Kamu suka makanan pedas Prilly?" Tanya Santi yang sedang melahap sup ikan pedas kesukaannya.

Prilly yang sejak tiba di restoran hanya terdiam kaku mendongak menatap Santi. "Tidak terlalu suka Buk." Jawabnya singkat.

Santi menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Nah kamu coba ini Ibu yakin kamu pasti suka." Ujar Santi mengambil beberapa sendok sup ikan miliknya lalu ia tuangkan ke dalam piring Prilly.

Prilly sempat terkejut dengan perlakuan Santi, ia tidak menyangka jika istri Bosnya ini akan sebegitu perhatiannya pada dirinya.

"Terima kasih Ibu." Ucap Prilly.

"Sama-sama. Kamu jangan sungkan-sungkan sama kita anggap aja kita ini adalah keluarga ya kan Pa?" Santi meminta pendapat suaminya. "Iya Ma. Kita memang akan menjadi keluarga." Jawab Andre ambigu namun hanya Santi dan Prilly yang menyadarinya sedangkan Ali pria itu tampak cemberut sejak menginjakkan kakinya di restoran ini.

Ali tidak suka dengan keberadaan Prilly namun ia tidak bisa berbuat banyak ketika kedua orang tuanya justru sangat menginginkan kehadiran gadis sombong itu.

"Kelurga apanya sih Pa, Ma? Dia tuh cuma orang asing disini!" Seru Ali pada kedua orang tuanya.

"Kamu yang paling asing disini!" Balas Santi sewot. "Lagian ngapain sih kamu ngikutin Mama sama Papa kesini? Biasanya kamu paling ogah gabung sama kami kan selera kamu wanita--"

"Mama!" Tegur Ali sebelum Ibunya melanjutkan ocehannya. Bisa-bisa ia semakin dipermalukan dihadapan gadis sombong itu. Lihat saja bagaimana tatapan datar yang Prilly berikan padanya, ingin sekali Ali mencolok mata tajam gadis itu.

"Kamu jangan dengerin omongan dia ya Prilly." Santi berbicara pada Prilly.

"Dia yang Mama maksud anak kesayangan Mama loh." Sela Ali yang sama sekali tidak digubris oleh Santi.

Wajah Ali semakin masam namun hal itu justru membuat Santi dan Andre terhibur, sejujurnya mereka sangat menikmati momen ini karena seperti yang Santi katakan tadi, Ali sangat jarang menghabiskan waktu dengan mereka, putra kesayangan mereka itu lebih memilih bersenang-senang dengan wanita-wanita kenalannya.

Ali memang setidak berbakti itu pada kedua orang tuanya.

"Oh ya Prilly."

Prilly yang sudah selesai dengan makan malamnya segera fokus pada Andre. "Iya Pak." Jawabnya kaku selayaknya bawahan dengan atasan.

"Mengenai lahan atau tempat yang kita perlukan untuk proyek baru ini, kira-kira kamu sudah memiliki gambarannya atau tidak?" Tanya Andre yang ternyata juga sudah selesai dengan makanannya.

"Saya sudah memiliki beberapa tempat di daerah pegunungan dengan lokasi yang tidak begitu sulit kita jangkau, juga area pedesaan disana sudah sedikit lebih maju sehingga proses negosiasi nanti saya rasa tidak akan terlalu sulit Pak." Jelas Prilly secara lugas pada Andre.

Andre dan Prilly terlihat larut dalam pembicaraan mereka mengenai pekerjaan tanpa Prilly sadari sejak tadi Ali tidak melepaskan tatapannya sedikit pun darinya. Ali terlihat terpukau dengan kepintaran gadis sombong itu dan sekarang ia mengerti kenapa Ayahnya mempertahankan Prilly sebagai sekretarisnya meksipun gadis itu sangat minus dalam hal beramah tamah.

Santi yang menyadari tatapan putranya pada Prilly tersenyum kecil. Sepertinya rencana mereka untuk menjodohkan Ali dengan Prilly tidak akan sesulit yang mereka bayangkan.

*****

My Boss🔥Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang