"Perkembangan nona sangatlah bagus, Tuan. Dengan semangatnya nona bisa dengan memulihkan dirinya dengan cepat, walaupun diawal fisioterapi ada beberapa keluhan tapi setelahnya cukup menggembirakan saat nona bisa dengan sedikit demi sedikit berjalan-" Dokter tersebut menghela nafas sebelum melanjutkan ucapannya.
"Akan tetapi akan lebih baik jika aktivitas tersebut dilakukan secara bertahab, terlalu memaksakan juga tidak akan baik pada tubuh nona muda. Saya harap anda dapat menjaga putri anda dengan baik. Dan saya ikut mendoakan agar nona bisa cepat pulih."
Direnc mengingat dengan jelas perkataan dokter kala menghubunginya. Rasa lega mengguyur hatinya, 3 bulan bukanlah waktu yang singkat untuk dilalui putrinya. Dan sudah tiga bulan lamanya ia belum bertemu anak perempuannya. Hanya satu kali pada bulan lalu. Aarav yang meliburkan diri membuat pekerjaan Direnc berlipat ganda. Awalnya Direnc menentang kemauan putra tertuanya, karena itu akan membuat khawatir bundanya.
Tapi bukan Aarav jika tidak keras kepala. Dan akhirnya inilah yang terjadi, ia mengurusi dua perusahaan sekaligus membuatnya semakin jarang bertemu anak perempuannya. Dan selama itu juga Direnc belum memberitahu tentang putrinya pada sang istri.
Bibirnya melengkung kala muncul sebuah panggilan dari putrinya. Tanpa menunggu ia segera mengangkat panggilang tersebut.
"Ayah..." teriakan membahana dari seberang sana membuat tawa Direnc menguar.
"Iya sayang, kenapa hm?" Dirence membalas dengan nada lembut.
"Kapan ayah kesini lagi?" lirihan putrinya membuat hati Direnc tersentil.
"Adek kangen..." hatinya menghangat kala mendengar ungkapan rindu dari sang anak.
"Pasti ayah kesana, adek tunggu sebentar lagi ya." bujuk Direnc sembari menyentuh pigura dimana putrinya tengah berpose riang menampakkan gigi putihnya yang rapi.
"Jangan lama-lama." Direnc terkekeh mendengar nada lucu dari seberang.
"Iya sayang."
Percakapan tersebut berlangsung lama. Sedikit mengobati rasa rindu saat ayah dan anak tersebut yang tidak dapat bertemu secara tatap muka karena terbentang jarak, maka telepon dan video call menjadi solusi terdepan.
INNEFFABLE
Layaknya hari-hari sebelumnya, malam ini di temani kakak tertuanya Ara menonton televisi. Bersandar pada dada bidang abang dengan mulut yang tidak berhenti mengunyah. Dan dengan telaten Aarav menyuapi adik perempuannya sepotong buah sesekali mengelus atau mengecup pucuk kepala Ara.Sebuah ingatan terlintas di pikiran Ara. "Abang." Ara mendongak untuk melihat wajah tampan abangnya.
"Hm." deheman singkat Aarav berikan atas panggilan adiknya. Aarav menunduk menampakkan raut bingung dari adiknya.
"Kenapa?" tanya Aarav sedikit khawatir melihat sang adik.
"Abang, adek ga pernah liat buna sama abang yang lain kesini." ucap Ara penuh keraguan berhasil membuat Aarav bungkam.
Sebenarnya ia sudah ingin bertanyabtentang hal tersebut pada Ayah dan abangnya, tapi ia terlalu takut untuk sekedar mengungkapkan pikiran nya saat itu.
Aarav tersenyum lembut, membawa Ara kembali bersandar di dadanya. "Kesini nanti, dari rumah kesini kan jauh jadi harus siapin semua keperluan dulu." kata Aarav penuh pengertian.
"Harus buat tiket?" Ara kembali mendongak dengan wajah lugunya.
Aarav mengecup gemas hidung mancung adiknya."Iya."
KAMU SEDANG MEMBACA
INEFFABLE
Teen Fiction🚫 Bisa dibaca terpisah dari ALARAYNA, Tapi kalau mau paham alurnya ya mendingan baca sih🚫 "Hingga saat ini, belum ada perkembangan dari penelitian kecelakaan itu. Para penyelidik masih berupaya mengonfirmasi pada sopir serta beberapa korban yang s...