Ara menatap gundukan tanah di depannya dengan sayu. Rasanya air matanya habis hingga sulit keluar. Tangan tergerak mengelus tanah yang tertutup rimbunnya rumput hijau yang sengaja diletakkan. Ara meletakkan bunga yang dibawanya di atas makam bundanya.
Ara menunduk saat satu tetes air matanya terjatuh. "Bunda~" alunan lirih Ara mengalun merdu memanggil sang ibu.
Ara menundukkan tubuhnya, mencoba memeluk nisan seorang wanita yang melahirkannya. Bulir air mata mengiring Ara yang menutup mata, membasahi nisan.
Mencoba merengkuh erat, berharap rindunya sedikit menguar tapi itu tak berpengaruh----hatinya semakin sesak.
"Hujan, sayang."
Direnc mendekat, menarik halus bahu putrinya. Mengajak pulang karena awan ikut mengeluarkan tangis. Direnc mengambil sapu tangan dari saku jasnya, mengelap telapak tangan Ara yang kotor karena tanah, lalu mengantonginnya kembali.
Dikecupnya sayang kening putri semata wayangnya. Jemarinya bergerak menghapus lelehan di pipi anak perempuannya.
"Pulang ya?" Direnc mencoba membujuk putrinya dengan nada halus.
"Besok adek bisa kesini lagi, tapi sekarang kita harus pulang sebentar lagi hujan."
Ara mendongak ikut memandang awan mendung yang ditunjuk sang ayah.
"Boleh besok kesini lagi?" Direnc mengangguk pasti atas pertanyaan Ara.
"Kapan pun itu, ayah pasti beri izin." Direnc mengelus pucuk kepala putrinya.
Direnc menggiring putrinya memasuki mobil. Selama di perjalanan Ara terdiam menatap luar jendela, memandangi rintikan hujan dengan tatapan kosong. Direnc pun tak banyak berbuat, ia akan menegur jika putrinya sampai pada tahap dimana itu akan merugikan dirinya. Wajar, jika saat ini putrinya masih berduka. Ia akan mencoba berbicara lagi nanti.
Ara masih melamun dalam keadaan mobil yang sudah berhenti di pelatran mansion, tepat di depan pintu utama, agar terhindar dari guyuran hujan. Direnc keluar terlebih dahulu, berjalan ke pintu samping----membuka pintu mobil untuk Ara. Mengecuk pucuk kepala putrinya sebelum membantu Ara keluar dari mobil.
Disana, tepat diambang pintu Lia merentangkan tangannya sesaat setelah Ara melangkah keluar mobil.
"Butuh pelukan?" Lia menatap Ara dengan sorot keibuannya.
Matanya ikut memanas mendengar tangisan pilu Ara di pelukannya. Elusan hangat di kepal putrinya yang hanya Lia bisa lakukan, berharap Ara tak merasa sendiri.
Direnc tersenyum pedih, putrinya terluka. Ia memajamkan mata sembari membuang muka ke samping, ia seakan ikut merasakan sakit yang teramat melalui tangisan putrinya.
INEFFABLE
Demam. Ara mengeratkan selimut yang melilit tubuhnya layaknya kepompong. Lia ikut panik melihat keadaan putrinya. Berkali-kali mengecek panas Ara yang tak kunjung merendah.
"Pusing ya, dek?" tanya Lia lirih melihat kening putrinya berkerut. Lia mengusap pelan pelipis putrinya, berharap mengurangi rasa pening.
"Masih belum turun?"
Lia menoleh mendapati suaminya yang baru saja pulang dari kantor. Direnc meletakkan jasnya di sofa kamar putrinya. Mendekat, dan mengecup kening putrinya.
"Belum turun dari pagi, apa dibawa ke dokter aja?" ucap Lia gelisah.
"Biar dokter nya kesini." Direnc mengelus pipi Ara yang memerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
INEFFABLE
Teen Fiction🚫 Bisa dibaca terpisah dari ALARAYNA, Tapi kalau mau paham alurnya ya mendingan baca sih🚫 "Hingga saat ini, belum ada perkembangan dari penelitian kecelakaan itu. Para penyelidik masih berupaya mengonfirmasi pada sopir serta beberapa korban yang s...