INEFFABLE - 20 Balasan

3K 335 80
                                    

Tak ada raut muka senang ataupun sedih. Ia hanya diam menatap atap dengan keadaan berbaring di brankar. Hampir tiga puluh menit, Ara tidak bergerak dalam posisinya dan selama itu pula tak ada seorang pun yang menemaninya di ruangan yang penuh bau obat.

Tepat saat ia memejamkan mata pelan, setetes air mata ikut menemani. Hatinya sangat sakit saat papinya berkata jika dirinya pembunuh. Tak taukah papinya, jika diirnya tak akan pernah melakukan hal keji itu bahkan memikirkan menjadi pelaku saja tak terbesih dalam otaknya. Bagaimana papinya bisa berucap seringan itu padanya.

Jika ini soal bundanya. Maka detik juga Ara akan minta maaf. Karena sejujurnya ia tak tahu menahu, ia tidak sadar saat itu. Jikalau oun sadar Ara pastikan, ia akan lebih memilih mati dari pada menerima donor bundanya. Ini juga beban, untuk menerima donor dari ibu kandung tak semudah itu. Batin Ara tertekan, "Kenapa aku harus hidup."

Ara bangun dari duduknya, melepas selang infus dengan kasar, menimbulkan luka menganga dengan darah mengalir di sela jari jemarinya. Tanpa meringis, Ara turun dari brankar menuju kamar mandi dan menguncinya, ia ingin sendiri.

Air matanya mengalir kembali menatap pantulan dirinya di cermin besar dihadapannya. Tak ada senyum hanya raut datar tak bergairah yang terlihat. Dalam bayangnya, kembali pada pertemuan dengan papinya. Ia pembunuh.

Ara berjongkok cepat, membenamkan kepalanya di lutut hingga rambutnya berjatuhan. Suara isak tangis nya terdengar pilu. "Ara enggak bunuh bunda, papi." lirih Ara dalam tangisnya.

Ara mendongak menatap sendu kedepan. Langkah kakinya mendekat pada bilik kaca dalam kamar mandi. Membiarkan aliran air dari shower membasahi dirinya seakan menutupi aliran air mata yang juga mengalir di pipinya. Ara mendudukkan diri seraya menekuk lututnya di lantai dingin itu. Ia lelah dengan semuanya. Ia hanya inggin beristirahat dengan tenang hingga matanya terpejam dengan damai.

INEFFABLE

Netra biru Bara membulat melihat pemandangan di depannya. Ia tercengang, segera mendekat dan memeluk tubuh ringkih yang sudah mendingin. Bibir yang biasanya merekah layaknya cherry kini mulai membiru dan bergetar. Matanya memejam erat dengan badan menggigil hebat.

Tuhan~

Batin Bara menjerit, bahkan sepatah kata pun sulit terucap lewat bibirnya. Ia menunduk---lagi-lagi ia merasa gagal menjada adiknya, menetaskan air matanya---semakin membawa adik perempuannya dalam rengkuhan hangatnya.

"Bara!"

Aslan datang dengan tergesa menyadarkan Bara agar mengangkat Ara. Beberapa perawat datang dengan tergopoh gopoh. Atas perintah Aslan, Bara keluar ruangan diikuti Alsan agar perawat tersebut mengganti pakaian Ara dengan yang baru.

Aslan menatap sendu Bara, yang duduk dengan menyangga kedua sikunya dilutut. Menutup wajah dengan kedua tangannya. Bara menangis, sekuat kuatnya Bara, ia tak akan kuasa melihat kesedihan adik perempuannya apalagi saat adiknya tersiksa hingga seperti itu.

Aslan mendudukkan diri disamping Bara. Menghela nafas ringan sembari menyenderkan punggungnya pada senderan kursi, matanya menyorot kosong ke depan dengan tangan terlipat di dada. Tak ada suara dari kedua lelaki ini. Mereka sibuk dengan pemikiran mereka sendiri. Hingga salah satu perawat keluar memanggil Alsan.

Dengan masih dibalut jas dokter, Aslan memeriksa kondisi Ara. Setelah memberi suntikan dan obat di infus Ara. Dengan lembut Aslan mengecup kening adiknya yang terbaring pucat. Menyatukan kening, dengan ibu jari yang mengelus pipi Ara yang maish terasa dingin. "Jangan begini, sayang."

Diluar ruangan, Lia menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Mendengar cerita dari putra ketiganya mmebuat Lia sangat sedih. Menengok suaminya yang juga hanya diam menatap ke depan tak ada raut apapun, Aarav pun sama, ia hanya diam.

Cklek

Lia memejamkan mata mencoba menguatkan diri. Melihat putra keduanya dalam keadaan tak baik baik saja setelah keluar dari ruangan putrinya. "Nak~" Panggilan lembut sang ibu membuat Aslan menatap ibunya sayu.

Lia membawa Aslan dalam rengkuhannya. "Dua kali, bun." lirih Aslan. Ia menangis.

Aarav memasuki ruangan adiknya. Matanya memerah. Netranya meneliti adiknya, kedua punggung tangan mungil adiknya yang di beri jarum, dengan bibir pucatnya. Sepelan membawa jari jemari adiknya dalam genggamannya, dan mengecupnya pelan walau terasa dingin.

"Abang ikut sakit, sayang."

INEFFABLE

Brak

Aydan merasakan ujung bibirnya robek. Memejamkan mata menahan umpatan kala pukulan kembali bersarang di pipi kirinya. Dadanya terasa sakit mendapat tendangan begitu kuat hingga terbatuh memunculkan darah.

sial

Matanya sontak memejam saat akan mendapat bogeman kembali. Beberapa detik tak merasakan apapun, Aydan kembali membuka matanya. Ia mendudukkan diri setelah beberapa bawahan membantunya menahan serangan dari satu orang yang memandangnya penuh dendam dengan mata yang merah menyala dan kedua tangan tangan mengepal erat.

Cuih

Aydan meludah merasakan amis di mulutnya. Memusatkan pandangan pada seorang pria seumurannya yang berani datang ke kentornya dan memukulinya tanpa ampun.

"Lepas!" titah Aydan pada bawahannya.

Brak

Aydan mengangkat tangan pertanda berhenti pada bawahannya. Membiarkan pria yang bernama Direnc ini untuk mencekik lehernya dengan kuat hingga urat ditangannya muncul. Sekuat tenaga Aydan menahan rasa sakit karena nafasnya terhambat.

"S-sto-p."

Direnc menyeringahi. "Setelah melukai mental putriku, kau masih berani hidup?" desis Direnc memperkuat cekikannya.

"Bahkan aku ingin memakamkanmu sekarang." kata Direnc penuh penekanan.

"Saya akan memanggil polisi, atas laporan percobaan pembunuhan pada Tuan Aydan." ucap salah satu bawahan Aydan.

Bruk

Tanpa belas kasih, Direnc mendorong tubuh Aydan sampai tersungkur di hadapan bawahannya. Seakan belum puas, Direnc kembali menghajar Aydan membabi buta.

"Tuan!" tak ada yang bisa menghentikan kemurkaan Direnc, ia ikut menghajar bawahan dari Aydan tanpa ampun.

"Kau pikir aku akan takut dengan ancaman murahanmu itu, bahkan aku akan membunuh boss mu dihadapan polisi jika kau mau, sialan." Direnc mendorong kepala pria itu dengan keras.

Menegakkan kembali tubuhnya, Direnc merapihkan jasnya menepuk bahunya membersihkan dari debu. Lalu berjalan dengan penuh kewibawaan, seakan tak terjadi apa apa sebelumnya. Beberapa orang yang bertemu dengannya segera menunduk melihat raut Direnc.

Ernald membuka pintu mobil dan menutupnya kembali setelah tuannya duduk dengan nyaman. Ernald mengendarai kendaraan beroda empat itu dengan kecepatan standar membelah jalanan luas sore itu.

"Rumah sakit."

"Baik, tuan."

Ernald menginjak pedal gasnya agar lebih cepat sampai pada tujuan.

TBC

Part ini kurang panjang kah?

INEFFABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang