INEFFABLE - 37 Jatuh dan sendiri

2.4K 302 91
                                    

Terhitung tersisa beberapa bulan lagi ujian akhir sekolah akan datang. Ara begitu mempersiapkan semua dengan matang, hingga tak jarang bundanya mengeluh saat anak perempuan nya selalu pulang malam karena berbagai macam les yang Ara ikuti. Kadang Ara juga lelah, tapi ia merasa harus bekerja keras untuk masuk universitas yang ia impikan, pun ayahnya tak melarang. Mungkin ayahnya hanya datang ke kamarnya untuk menyapa, karena bisa seharian mereka tidak bertemu padahal masih satu atap. Ya bagaimana lagi, Ayah nya berangkat pagi sama seperti nya dan Ara pun tak jarang pulang diatas jam delapan dan tentunya ia langsung istirahat di kamar.

Seperti saat ini, ditengah jalanan malam. Ara menyandarkan punggungnya dikursi mobil, memejamkan mata sejenak, menunggu sang sopir yang mungkin akan membangunnya karena ketiduran.

"Nona, sudah sampai."

Kan! Ara ketiduran dengan tubuh yang lengket dengan keringat karena ia masih memakai seragam sekolah. Teringat sesuatu, Ara merogoh sakunya dan menyalakan ponsel nya yang dayanya hanya tersisa lima persen, lalu segera mengetikkan pesan pada kekasih nya.

Ara melangkah ke dalam rumah yang sudah sepi dan temaram. Abang abang nya sudah beberapa hari ini tidak pulang, semakin dewasa mereka semakin jauh. Jauh dalam artian, jarang berada di rumah dan ya, itu berhasil memebuat Ara sedih.

Mengingat para abangnya membuat suasana hati Ara trenyuh. Ia memilih singgah ke sofa ruang keluarga dengan bingkai foto berisikan anggota keluarganya. Ara menghela nafas kala ingatannya berputar saat kehangatan keluarganya dulu. Ara tak mengira ia bisa tumbuh dewasa ditemani keluarga yang begitu menyayanginya. Ara sangat berterima kasih.

Mungkin nantinya abang tertuanya juga akan menikah, disusul abang keduanya. Ah, pasti Ara tak akan mendengar lagi omelan bundanya yang meminta pada abangnya menikah.

Ara mengelap pelan air mata yang membasahi pipinya. Kenapa suasananya jadi melow begini? Biasanya jika ia menangis, Iel akan datang dan mengganggunya. Tapi abangnya yang hyperactive itu sudah jarang ke rumah, dengan jahatnya ia malah memilih mencari apartemen dengan temannya, katanya biar gak jauh dari kampus. Padahal, Ara tau, abangnya cuma mau bebas biar bisa pulang malam. Dasar.

Ara mengambil tas sekolahnya dengan lemas lalu berjalan lewat tangga untuk ke lantai atas. Melirik kamar milik kedua orang tuanya yang sudah tertutup, mereka mungkin sudah tidur. Ara ingin bertemu ayah dan  bundanya, mau tidur ditemani mereka tapi Ara gak mengganggu. Ia memilih meneruskan tujuannya untuk ke kamar milik nya.

Ara merebahkan diri di kasur setelah melemparkan tasnya di sampingnya tanpa memebersihkan tubuhnya dahulu karena takutnya ia akan ketiduran. Dan mungkin saja itu sudah terjadi, karena Ara sudah menutup mata dengan damai dengan kaki yang masih menggantung dibawah.

INEFFABLE

Ara menggerutu sembari berjalan menuruni tangga, kedua tangannya sibuk menggeledah isi tasnya berharap semua mata pelajaran sudah masuk. Ditambah meja makan yang sudah sepi, berarti ayahnya sudah berangkat, jelas saja ini hampir pukul delapan. Ara akan menutup resleting tasnya. Tapi naas, Ara terjatuh tepat di undakan tangga ketiga dari bawah.

Aakkhh

Teriakan Ara mengundang para pelayan yang berlalu lalang, seketika mereka berteriak kaget dan menghampiri nona muda yang terduduk menahan ringisan di kakinya yang juga mengeluarkan darah karena gesekan.

"Astaga, nona." Salah satu pelayan mencoba membantu Ara bangkit.

"Aa-akh, sakit bi-" Ara menangis merasakan kaki kanannya yang sakit untuk digerakkan.

"Saya telfon tuan dan nyonya dulu." Salah sath bodyguard berjalan menjauh sembari membawa ponselnya ke telinga.

"Seperti nya kaki nona terkilir." Ucap salah satu dari mereka.

"Sakit." Desis dengan isakannya. Bukan hanya sakit, rasanya Ara mau marah karena pagi yang buruk ini, sudah kesiangan trus jatuh lagi. Ia mau marah rasanya.

"Biar saya bantu ke kamar nona."

Dengan batuan bodyguard, Ara berhasil kembali ke kamarnya. Bahkan untuk bergerak sedikit saja sudah sakit. Ada dua pelayan yang membantu Ara mengompres dan membalut luka di kakinya.

Ara diam dalam tangisannya. Ia sedang marah dalam hatinya, kenapa tak ada satu orang pun yang membangunkannya. Hari ini akan ada ujian harian, dan Ara tak mengikuti nya karena tragedi jatuh tadi.

"Bunda kemana?" Tanya Ara dengan nada lemas.

Pelayan tadi menunduk, "Sebenarnya tuan dan nyonya menitipkan pesan pada saya, agar memberitahu nona jika beliau tengah pergi ke Singapura, nona."

Rahang Ara merosot kebawah. "Kapan?"

"Pagi tadi nona, pukul tiga pagi. Bapak sama ibu ke bandara."

Ara mengalihkan pandangan, ia mengangis. Kenapa di keadaan seperti ini, mereka semua tidak ada di rumah.

"Bilang ayah gak usah pulang, bilang kalau Ara gak papa, cuma jatuh doang dan jangan kasih tau abang juga."

"Baik nona." Pelayan tadi undur diri, menutup pintu kamar Ara dengan hati-hati.

INEFFABLE

Ara mengabari Algav seperti biasa, walau ada sedikit kebohongan jika ia tidak sekolah. Ara bangkit dari ranjangnya dengan pelan, berniat ingin mengganti pakaiannya. Ara menolak para pelayan yang berniat membantunya, ataupun memanggil tukang urut kemari, biarlah nanti sembuh sendiri.

Ara meringis sambil berpegang dinding disebelahnya, ia berjalan melompat kecil dengan kaki kirinya. Lalu bergerak mengambil pakaian dan memakai dengan pelan dan hati-hati.

"Akh, sakit."

Ara menutup mata, merasakan nyeri karena tak sengaja tersenggol.

Butuh waktu untuk kembali ke ranjangnya dan merebahkan dirinya dengan nyaman. Ara melirik kembali kakinya. Yang ada dalam pikiran nya saat ini adalah - Bagaimana ia pergi ke sekolah esok?

Mungkin ia harus pergi pagi-pagi sekali supaya ia leluasa berjalan dengan pelan di koridor sekolah. Mau tak mau ia harus sekolah, Ara tak mau ketinggalan materi. Dalam satu hari ini ia sudah melewatkan banyak pembelajaran di tambah besok, hah! Ara bakal pusing nanti.

Biarlah ia nekat besok, semoga saja kakinya mau bekerja sama. Ara juga tak tau kapan ayah dan bundanya pulang, Ara juga tak tanya. Ara tidak suka jika pergi tanpa bilang, ia sedikit marah pada ayahnya, bahkan ia tak menerima telfon ayahnya. Ara mematikan telfonnya.

Semua pekerja di rumah, Ara larang untuk bicara tentang apa hang terjadi hari ini. Biarlah mereka tahu saat pulang nanti.

Abangnya Aarav pun masih betah di kota orang dan abang keduanya oun tak jauh sama dengan Abangnya Iel hang memilih tinggal sendiri.

Memang mereka berniat membuat Ara kesepian disini. Ia benar-benar meresa sendiri. Hanya buku dan les nya lah yang membuat harinya begitu sibuk, tanpa jeda. Beruda fokus agar Ara juga tak merindukan abang abangnya.

Bahkan Ayah dan bundanya pun memilih pergi tanpa membawa ataupun mengabarinya dan tentunya meninggalkan  Ara di rumah sendiri. Ara sedikit kecewa dengan semua orang. Ia merasa di tinggalkan.

TBC


Next?

INEFFABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang