Bab 3

411 84 4
                                    

Fiona berjalan mengekor tanpa melucuti pertahanannya. Matanya mengerling siaga, begitu juga dengan tangan dan kaki yang menegang waspada.

Walau laki-laki itu sudah menyelamatkannya, tetapi Fiona tidak sepenuhnya percaya. Pasti ada alasan terselubung untuk seseorang menyelamatkan orang asing lainnya di lautan kematian.

"Ngomong-ngomong, siapa nama Kakak?" tanya Grey yang membuat kening Fiona berlekuk dalam.

"Bisa berhenti memanggilku dengan sebutan kakak?"

"Kenapa memangnya, Kakak tidak mungkin berusia lebih muda dari aku, kan?" Grey memutar tubuhnya dan berjalan mundur. "Tahun ini aku 18." Dia tersenyum bangga.

Fiona bungkam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Fiona, panggil aku Fiona. Tanpa embel-embel kakak atau apa pun itu. Aku tidak perlu diingatkan kalau aku berusia lebih tua darimu."

"Fi-o-na," eja Grey. "Salam kenal kalau begitu. Panggil aku Grey."

Fiona mengangguk pelan, dan remaja tinggi itu kembali melangkah lurus ke depan. Kali ini dia akan melupakan nama aslinya, lagi pula apa gunanya nama di saat dunia sebentar lagi akan berakhir. Terlebih tidak akan ada yang menangisi kepergiannya, apa lagi repot-repot membuatkannya nisan.

Berjalan melintasi lobi beratap tinggi yang didominasi warna emas dan dekor angsa di setiap sudut, Fiona tidak berhenti memandang aneh kondisi sekitar. Jika di luar, dia akan menjumpai neraka kecil, tetapi tidak di apartemen ini. Walau perabotan bergeser kacau, tetapi tidak ada tanda pernah terjadi pembantaian. Darah, potongan tubuh, aroma memuakkan absen di sini.

"Grey, bagaimana tempat ini bisa sebersih ini?" tanya Fiona.

Si pemilik nama berhenti dan mengedarkan pandangan. "Bersih?" Dia menelengkan kepala dan menatap Fiona aneh. "Aku tidak akan bilang tumpukan debu di meja lobi dan jejak kaki di lantai bisa dibilang bersih. Belum lagi posisi kursi dan meja yang jauh dari kata rapi."

"Bukan itu, maksudku darah. Beberapa hari ini aku keluar masuk ke beberapa tempat dan semuanya tidak jauh berbeda dengan rumah pemotongan hewan. Kamu liat saja di luar sana."

Remaja itu melempar pandangannya ke luar, di mana para mayat hidup masih berkumpul, menggaruk kaca, dan mengerang lapar. "Hmm, betul juga. Aku tidak sadar itu."

"Tidak sadar? Tunggu dulu, sejak kapan kamu di sini?" Fiona menyipitkan matanya penuh curiga.

Bukan bermaksud merendahkan, tetapi kaos putih dan jeans belel yang melekat di tubuh Grey, belum lagi tampang berantakannya membuat dia terlihat lebih pantas hidup di apartemen bobrok yang menyempil di gang sempit. Sama sekali tidak cocok dengan silau kemewahan yang ditawarkan tempat ini.

"Semenjak kerusuhan terjadi." Grey memunggungi Fiona dan lanjut melangkah ringan menuju lift yang berseberangan dengan pintu masuk.

"Kamu tidak tinggal di sini? Jadi, kamu menerobos masuk ke sini?" Fiona terus memborbadirnya dengan pertanyaan.

"Hemm, iya, kami menerobos masuk. Aku dan ... kakakku tengah berlibur di sini saat kekacauan terjadi." Grey berucap ragu sesaat.

"Kakak? Di mana dia sekarang?" Fiona mengerem tungkainya dan kembali mengawasi area sekitar. Kembali bersiap dengan ancaman yang mungkin datang.

"Kita akan ke tempatnya istirahat." Grey menekan tanda panah ke atas dan lift terbuka.

Bunyi denting dan silau sinar bagian dalam lift mengalihkan perhatiannya dari pria muda yang masih menahan semua informasi. Beberapa kali pikiran Fiona menerobos kaca tebal di belakangnya, berpikir apa dia mengambil keputusan tepat dengan ikut masuk ke tempat yang masih mungkin memiliki komunitas gila seperti kelompok Kon dulu.

Keep Running!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang