Bab 6

394 84 3
                                    

Semenjak dewasa, Fiona hampir tidak pernah merasakan takut. Dulu dia berani menerobos kegelapan dan bermain darah dengan sadisnya menggunakan tangan kosong. Namun, kini semua berubah. Keremangan menciutkan nyali dan darah menggentarkan hatinya.

Seperti sekarang saat suara gemuruh kecil berubah lantang membahana, raut wajah Fiona tetap mendatar tak peduli. Namun, tidak dengan jantung yang berdetak liar di balik iga dan keringat dingin membasahi telapak tangan yang tersembunyi di balik kantong jaket.

Rahangnya menggeretak saat melihat puluhan zombi berebut masuk ke area lobi setelah pintu terbuka. Beberapa bahkan jatuh terinjak dan terjepit di sudut pintu.

Melihat semua itu, Fiona tidak lagi bisa mempertahankan ketenangannya. "Elard, mereka sudah masuk. Bagaimana dengan Grey? Kenapa dia belum ada di sini?" tanyanya gelisah.

"Dia akan datang dalam hitungan menit. Kamu bersiaplah terlebih dahulu," perintah Elard masih terdengar tenang. "Ingat, ambil beberapa serabut sekaligus dan turun dengan cepat. Aku yakin kamu bisa melakukan itu."

"Lalu, bagaimana denganmu?"

"Aku akan baik-baik saja, yang penting kosongkan tempat kita mendarat."

"Setelah itu?"

Elard tidak menjawab dan berjalan lambat ke arah suara Fiona berada. Tangannya terjulur ke depan, mencari keberadaan sang perempuan. Ujung-ujung jarinya menemukan pundak yang tegang dan segera melepasnya sebelum si pemilik bahu marah. "Sesuai dengan apa yang kita bicarakan. Kita ke tempat di mana kendaraan kami terparkir." Dia menjeda bicara sejenak. "Ada apa Fiona? Kenapa kamu terdengar—"

"Aku tidak takut!" potong Fiona cepat dengan intonasi tinggi.

"Aku mau bicara tidak yakin, tapi takut terdengar lebih cocok jika disesuaikan dengan nada bicaramu barusan." Elard tersenyum. Senyum yang mulai terlihat menjengkelkan.

Fiona menarik napas dalam. Dikuburkan semua emosinya yang mulai meluap-luap. Entah apa yang mempengaruhi dirinya saat ini, ketakutan ... jelas bukan, karena selama ini dia berkelana sendiri dan tidak pernah merasa seperti ini. Apakah perjalanan bersama orang lain yang memicu kecemasannya? "Aku bukannya takut. Aku justru memikirkan kalian, bagimana jika kalian langsung digigit zombi di langkah pertama?"

"Sudah kubilang, jangan khawatirkan ka—"

"Elard, Fio, bersiap. Tidak sampai dua menit pintu akan kembali tertutup." Suara Grey memutus obrolan mereka.

Pandangan Fiona beralih ke Grey yang datang tergesa-gesa dengan tatapan terus melompat dari mereka berdua ke jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan. Pakaian serba hitam, tas ransel, dan dua buah pistol mencuat dari sela celana sempat membuatnya ragu, apa laki-laki itu bisa menggunakan senjata itu dengan baik.

"Pekerjaan bagus," puji Elard. "Sekarang, kalian berdua bersiaplah. Kenakan sesuatu untuk melindungi telapak tangan kalian supaya tidak panas atau lecet ketika turun nanti."

"Aku sudah menggunakan sarung tanganku," balas Grey cepat sambil menjulurkan kepala melewati balkon untuk melihat kondisi terbaru di depan pintu. "Sebagian besar mereka sudah masuk."

"Berapa menit lagi yang tersisa?" tanya Elard sambil berjalan ke pembatas balkon.

"Tiga puluh detik," balas Grey cepat saat melihat angka yang bergerak mundur di jam digitalnya.

"Kalian bersiap, aku akan menyusul kalian tak lama setelahnya." Elard meraba tanaman rambat untuk mencari gelungan serabut kelapa yang bersembunyi di balik rimbunannya dedaunan.

"Fio, kamu siap?" tanya Grey dengan raut tegang.

Mulut Fiona terkatup rapat, tangannya mengepal kuat di genggamannya. Dia melirik ke bawah, tidak sampai sepuluh zombi yang tertangkap matanya. Seharusnya semua ini mudah, dia tinggal meluncur turun dan membantai mereka satu per satu. Namun, entah kenapa hatinya tidak berhenti digelayuti oleh kegundahan.

Keep Running!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang