"Tunggu tunggu tunggu ... ulangi ucapan kalian. Pelan-pelan. Aku tidak menangkap apa yang kalian ceritakan." Minsana menelengkan kepala dan menatap bingung Troy.
"Apanya yang susah dimengerti? Aku sudah bilang makhluk dengan fisik seperti zombi, tapi tidak bersuara dan bergerak layaknya zombi!" ulang Troy terdengar kesal.
Kerut di antara alis Minsana melekuk semakin dalam. "Makhluk? Zombi? Kenapa menggunakan dua kata, kenapa tidak zombi aja? Apa maksudnya makhluk itu sebelumnya bukan manusia?"
"Astaga, Dok! Alasan kami ke sini untuk meminta jawaban! Kenapa malah bertanya balik?" geram Troy. Andai punya rambut, dia pasti sudah menjambaknya frustasi.
Entah apa yang mengganggu pikiran sang dokter hari ini. Sepertinya ada neuron otaknya yang terkoneksi di neuron yang salah. Karena semenjak mereka datang, alih-alih menjelaskan, Minsana justru terus membalas bingung.
"Maksud Troy, makhluk itu tampak seperti manusia yang berubah menjadi zombi dengan kulit pucat dan pembuluh darah keunguan yang melebar di seluruh tubuh. Hanya saja, dia tampak berbeda dengan zombi lainnya, dilihat dari caranya berjalan yang stabil, postur tubuh tegap, dan tidak adanya suara yang keluar dari mulut," jelas Gama.
"Hmm?" Minsana tertegun. Punggung lelahnya bersandar pada kursi kayu keras. Sementara tangannya meraih lembaran kertas dari tumpukan berkas yang tersusun rapi di meja yang ada di hadapannya. "Kalian ingat bagaimana ciri fisik makhluk itu?"
"Tidak banyak. Aku cuma ingat dia tidak terlalu tinggi dan berambut putih," balas Gama.
"Hanya itu?" Mata Minsana memincing.
"Hanya itu," ulang Gama terdengar tersinggung, "susah untuk melihat detail makhluk itu dari jarak jauh. Apa lagi kulitnya mengelupas. Jadi, aku sama seka—"
"Mengelupas?" potong Minsana. Rautnya segera berubah horor. Giginya tidak berhenti mengunyah bibir bawahnya.
Gama tidak segera membalas. Dia justru mendekat ke meja kerja sang dokter. "Ada apa, Dok?"
"Apa maksud dari mengelupas itu kulitnya terlihat seperti terkoyak-koyak di beberapa tempat?"
"Betul," jawab Gama singkat.
"Kalau begitu, kata itu .... Kata itu salah," balas Minsana resah.
"Kata apa yang salah?" Troy yang melihat perubahan sikap Minsana ikut mendekat ke meja. Kini mereka berdua berdiri menjulang di hadapan sang dokter.
"Kata." Minsana menjeda. "Bukan mengelupas, tapi ...." Dia menelan sisa kalimatnya.
"Tapi?" Gama menarik kursi di depan meja dan duduk. Matanya memandang penuh selidik ke arah sang dokter yang justru menurunkan pandangannya ke bawah.
"Robek." Perempuan itu kembali diam untuk menarik napas panjang. Berusaha memupuk keberanian sebelum akhirnya mengangkat kepala dan menatap langsung Gama. "Kulit makhluk itu ... bukan, zombi itu ... robek."
Suasana tiba-tiba berubah hening dengan janggal.
"Bagaimana—" Troy sudah bersiap untuk melupakan emosinya. Namun, semua itu dicegah dengan satu gerakan tangan Gama di udara.
"Dokter, apa yang kamu sembunyikan?" Gama berusaha bertanya dengan tenang. Dia tidak ingin keberanian sang dokter untuk mengungkapkan kebenaran lenyap hanya karena emosi semata.
Minsana mendengkus berat. "Aku seharusnya melaporkan semua ini. Maaf, tapi aku sama sekali tidak berpikir kalau dia akan berubah," sesalnya.
"Apa yang tidak dilaporkan, Dok?" Mata Gama menatap intens iris kebiruan Minsana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keep Running!
AdventureBUKU KEDUA R-18 : Blood, Gore. Genre : adventure, thriller, action, (minor) romance Note : sequel dari Run! (Disarankan baca cerita pertama sebelum membaca cerita ini, karena berisi spoiler bab terakhir Run!) Fiona, alias Natasha, kembali dihadapka...