Perjalanan.
Mendengar kata itu meluncur dari mulut Minsana menakutkan Fiona. Potongan adegan kematian teman-temannya di Arkala terus dimainkan ulang bak kaset kusut di pikirannya. Kerongkongannya seakan tercekik, tarikan napas panjang tidak juga menghilangkan rasa itu. Hanya tangisan yang sepertinya bisa melegakan, tetapi Fiona tidak akan melakukannya. Baginya menangis hanya untuk perempuan lemah.
Himo. Entah berapa kali pria penuh senyum itu hadir di mimpinya. Memberinya sedikit keindahan dalam tidur dan lebih banyak kekelaman yang mencekam. Mimpi buruk yang selalu berhasil membangunkannya di tengah malam dengan napas tersengal-sengal, yang mungkin bisa membunuhnya.
Lain halnya dengan Prof Gorgo. Pria tua yang dibunuhnya—atas permintaan si pemilik nyawa—memberi lebih banyak siksaan di dalam tidurnya. Dan hal itu seringkali membuatnya berpikir panjang mengenai dirinya saat ini. Dulu, di saat tangannya sering berlumur darah, tidak sekali pun mimpi buruk hadir di dalam tidurnya. Dia bahkan terlelap dengan nyenyaknya setiap kali satu nyawa hilang di tangannya.
Sepertinya aku melemah, pikir Fiona sambil menatap tangan yang bersih tanpa ada darah kering yang dulu kerap terlihat di sela kukunya.
"Fiona, Fiona," panggil Minsana berulang kali.
"Apa?" tanya Fiona setelah beberapa saat tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Kita sudah sampai."
Pintu putih terbuka.
Sebuah ruang kecil berisi meja panjang dengan belasan kursi mengitarinya terbentang di hadapannya. Jendela kaca yang tertutup kerai membuat ruangan terlihat suram di kala matahari tengah bersinar terik di luar.
Fiona tidak segera masuk. Di depannya, tatap tajam penuh dendam dari Troy menyambutnya. Walau tidak ada kalimat ancaman yang dilontarkan, tetapi dia enggan lanjut melangkah dan berselisih jalan dengan pria itu.
"Fiona, masuk!" perintah Gama terdengar keras dari dalam.
Fiona yang sadar mood Gama masih buruk, tidak lagi menunda. Tungkainya melewati pintu dan menoleh ke arah Gama yang duduk tegap di ujung meja, didampingi seorang pria berseragam berkumis tebal yang berdiri tegang di belakangnya.
"Fio, ke sini!" panggil Grey yang duduk berseberangan dengan sang kapten.
Fiona menyebrangkan pandangannya dan melihat kakak beradik itu duduk santai dengan punggung bersandar pada kursi. Tidak perlu berpikir dua kali, dia jelas memilih tempat di mana mentari seakan bersinar terang. Berlawanan dengan Troy dan Minsana yang segera mendatangi pimpinan mereka yang seakan dikelilingi kabut tebal.
Pintu berdentam menutup, membawa serta cahaya keluar dari ruangan. Menyisakan sedikit sinar yang berasal dari lampu sudut. Semua itu cukup untuk mereka dengan penglihatan normal dan lebih baik untuk Elard yang memiliki kelainan visual. Sepertinya dia sudah menjelaskan situasinya dan Gama berbaik hati mengatur pencahayaan sesuai dengan kebutuhannya.
Fiona merasa aneh saat melihat formasi duduk mereka. Dia seharusnya berkumpul bersama kawan-kawannya dahulu, tetapi kini dia beralih ke kawan baru yang sebenarnya sama tidak familiarnya dengan yang lama.
Sementara di seberang, Gama tidak bisa melepas pandangan dari Fiona yang mengenakan pakaian lamanya. Kaos lengan pendek berwarna hijau tua dengan celana jins membawa memorinya ke belakang saat mereka bisa jalan berdua tanpa ada perasaan canggung.
"Siang semuanya, terima kasih sudah hadir." Gama akhirnya bersuara. "Aku tidak akan berbasa-basi. Tujuan aku mengumpulkan kalian di sini sebenarnya untuk meminta bantuan."
"Tunggu sebentar, Kapten. Jangan langsung lompat ke solusi. Ceritakan dulu penyebab kenapa kamu harus menurunkan integritasmu dengan meminta tolong ke beberapa orang awam." Elard tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keep Running!
AdventureBUKU KEDUA R-18 : Blood, Gore. Genre : adventure, thriller, action, (minor) romance Note : sequel dari Run! (Disarankan baca cerita pertama sebelum membaca cerita ini, karena berisi spoiler bab terakhir Run!) Fiona, alias Natasha, kembali dihadapka...