Malam beranjak tinggi. Prakiraan cuaca yang diramalkan Gama meleset. Saat ini tidak ada guyuran air yang membasahi bumi. Hanya ada gemuruh yang terdengar jauh dan kilatan petir yang sesekali melecut langit.
Setelah menghabiskan makanan instan yang ditemukan di dapur hotel, mereka berdua duduk saling berseberangan di sebuah lorong di lantai tiga. Tidak ada pertukaran kata, hanya simfoni irama napas teratur mereka di sela-sela keriuhan malam.
Duduk di pojokan, tempat di mana sinar lampu menyorot lemah, Fiona sibuk membersihkan pedang dari darah dan debu. Sedangkan Gama yang sudah terlebih dahulu selesai memeriksa kelengkapan senjata, duduk bersila sambil menatap perempuan yang kini terlihat lebih segar.
"Sudah menemukan cara kita pulang?" tanya Fiona tanpa mengalihkan pandangannya dari kilau pedang.
"Belum," balas Gama singkat.
"Cari caranya sekarang kalau begitu. Pergi ke atas, intip dari jendela. Itu akan lebih menghasilkan daripada diam memandangku," ketus Fiona.
Gama tersenyum kecil. "Malam ini terlalu gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa selain kobaran api dari tempat penampungan bahan bakar. Aku akan cari caranya besok pagi." Dia menjeda kalimatnya. "Lagi pula hanya area ini saja yang memiliki pencahayaan. Mau melihat ke mana lagi kalau bukan ke tempatmu duduk?"
Fiona memutar pandangan dan melihat lorong beralas karpet berwarna merah seperti terputus beberapa meter dari tempatnya duduk. Seakan dia sedang terisolasi di pulau yang berada di tengah lautan luas. "Apa perlu kamu mematikan semua lampu di gedung ini?"
"Solar di genset cuma tersisa sedikit. Lagi pula untuk apa menyalakan seisi gedung yang cuma dihuni dua orang saja?"
"Jadi maksudmu, kita tidur di lorong ini untuk malam ini?" tanya Fiona sambil menyisir karpet berdebu tempatnya duduk.
"Kamu lebih memilih kita tidur berdua di kamar?" tanya Gama sambil menarik sudut bibirnya.
"Tidak perlu bertanya sesuatu yang sudah jelas jawabannya." Tatapan Fiona berubah tajam.
"Memangnya kenapa? Berada di dalam kamar atau di luar kamar akan sama saja. Tetap tidak ada orang lain selain kita berdua. Pembedanya hanya pembatas, yang pada situasi saat ini tidak membuat perbedaan sama sekali. Karena kamu tetap terkurung di sini apa pun yang terjadi."
"Apa itu ancaman, Kapten?" Fiona mengayunkan pedang ke arah Gama.
Meski bagian teruncing pedang berhenti tepat di depan hidungnya, tetapi Gama tetap bergeming. "Bukankah gertakan seperti ini sudah sedikit basi, Fiona?"
Hati Fiona terpuntir nyeri. Rasa bersalah kembali menguasainya. Walaupun begitu, dia masih sanggup berkata dengan tegas, "Aku masih dengan pendirianku. Tidak ada satu pun orang, terlebih laki-laki, yang bisa menahanku untuk bebas!"
"Aku sudah berjanji untuk tidak menahanmu lagi dan aku akan menepatinya. Tidak perlu takut, aku cuma berkata sesuai dengan kondisi kita saat ini. Terkurung di sebuah gedung yang dikelilingi zombi. Memangnya kamu bisa ke mana?" Gama membalas dengan intonasi tenang.
Fiona tidak lagi membalas ucapan Gama dan menurunkan pedangnya. Dia tahu kalau tidak akan pernah menang bermain kata dengan sang kapten.
Gama yang melihat kekesalan menumpuk di wajah perempuan itu, memilih untuk membungkam mulutnya. Sampai akhirnya Fiona kembali membuka percakapan.
"Gama, makhluk itu ...." Fiona diam sejenak. "Aku pernah melihatnya. Dia bukan zombi yang mengalami mutasi kan?" Dia menaikkan pandangan dan menatap Gama lekat.
"Apa maksudmu pernah melihatnya?" Gama mengernyitkan kening.
"Makhluk itu ... tadinya pasien Minsana, bukan? Awal aku datang ke pengungsian, aku melihat pria tua itu tengah berontak di ruang perawatan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Keep Running!
AdventureBUKU KEDUA R-18 : Blood, Gore. Genre : adventure, thriller, action, (minor) romance Note : sequel dari Run! (Disarankan baca cerita pertama sebelum membaca cerita ini, karena berisi spoiler bab terakhir Run!) Fiona, alias Natasha, kembali dihadapka...