Bab 40

633 78 20
                                    

Fiona berpikir selama ini hatinya sudah membeku dan tidak mungkin meluruh hanya dengan kehangatan satu orang. Bertahun-tahun dirinya ditempa dengan rasa dengki tanpa ada sedikit pun pikiran positif. Namun, hari ini sepertinya dia akan menghapus pemikiran itu.

Berduaan dalam satu kamar. Bunyi denting sendok membentur piring dan gerak mengunyah Gama menjadi pengisi ruangan. Walau Troy beberapa kali datang untuk melakukan pengecekan, tetapi dia tidak permah tinggal sampai berjam-jam lamanya.

"Fiona, kamu istirahat di ruanganmu. Aku bisa menyelesaikan makannya," ucap Gama memecah kecanggungan.

"Aku sudah tidur tadi." Fiona lanjut menyuapkan makanan ke Gama.

"Kata Troy kamu tidak tidur selama aku tidak sadar."

"Jangan dengarkan omong kosong pria itu. Aku sudah tidur beberapa kali. Jadi, tidak perlu khawatir." Fiona lanjut menyuap sendok terakhirnya.

"Aku bukannya lumpuh. Aku masih bisa jalan. Tangan kiriku masih bisa berfungsi."

"Aku tahu," balas Fiona datar.

"Jadi, aku tidak butuh bantuanmu. Pergilah. Istirahat." Walau bernada perintah, tetapi Gama mengucapkannya dengan lembut.

"Aku juga tahu kamu tidak butuh bantuanku. Aku di sini murni karena keinginanku. Kamu tidak bisa mengusirku. Terlebih, aku tidak punya tempat di sini. Duduk atau tidur di mana pun, tidak ada tempat yang aman. Kalaupun pada akhirnya nanti kamu berubah. Paling tidak aku mati tanpa meninggalkan hutang."

Gama menahan tangan Fiona yang baru saja berdiri untuk menyingkirkan piring kosong. "Kamu tidak berhutang apa-apa padaku."

Fiona menatap Gama panjang. "Katakan itu pada almarhum nenekku. Nenek yang memintaku untuk tidak sekali pun berhutang budi, terutama kepada laki-laki."

"Jadi, apa yang harus kuberikan? Kalau nyawaku ternyata tidak cukup berharga untuk mendapatkan hatimu." Gama memperkuat pegangannya tanpa menyakiti Fiona.

Fiona segera menepis tangan Gama dan berjalan menjauh dengan piring kotor. Dia tidak membalas pertanyaan Gama, karena dia sendiri tidak tahu jawabannya.

Selama ini dia tidak pernah menerima kasih sayang, termasuk dari orangtua yang seharusnya membekas hingga dewasa. Sang nenek yang lanjut menjaganya hingga besar pun hanya memberinya doktrin negatif yang dulu dipikirnya salah satu bentuk kasih sayang.

Sekarang hatinya kosong, gelap, dan dingin. Dia tidak tahu bagaimana caranya menyalakan percikan api di hatinya. Berada di dekat Gama dan yang lainnya membuatnya tenang, tetapi semua itu gagal menghangatkan hatinya.

Suara derit tempat tidur terdengar. Suara langkah berat Gama terdengar mendekat.

Fiona mematung beberapa detik sebelum akhirnya berpura-pura sibuk menuangkan minuman hangat ke gelas.

"Katakan Fiona, apa kamu lebih senang melihatku berkorban nyawa untukmu? Ketika aku meninggal, apa kamu akan menangisiku sama seperti kamu menangisi Himo?"

Hati Fiona mendidih. Dia segera berputar dan menampar pipi Gama dengan keras hingga telapaknya nyeri. Dia sama sekali tidak menduga Gama akan berbicara kematian semudah itu. Apa dia tidak ingat bagaimana putus asanya dia melihat kematian kawan-kawannya.

Fiona mengigit bagian dalam pipinya hingga darah terasa di mulutnya. Namun, semua itu tidak menghentikan air matanya turun. "Walau tanganku sudah berlumur banyak darah pria, tetapi tidak sekali pun aku menginginkan kematian salah satu dari kalian!"

"Fiona—"

"Aku tidak peduli dengan yang namanya cinta. Kamu mau mencintaiku hingga dunia berakhir pun, aku tidak peduli! Kamu boleh mengataiku egois dan sebagainya. Tapi aku ingin kamu ... begitu juga Troy, tetap hidup. Jangan tinggalkan aku sendirian! Karena aku tidak akan sanggup." Tangis Fiona pecah.

Keep Running!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang