11; demi seratus juta

131 24 0
                                    


Tengah malam sudah berlalu, tapi Bariel dan Kazer belum juga sampai di rumah. Selden mondar-mandir di teras, sesekali mengangguk dan tersenyum pada sapaan ramah para tetangga. Kemudian, ia menyulut rokoknya, mengapit nikotin itu di belahan bibirnya, baru mengepulkan asapnya di udara hingga ada sebuah Bugatti Veyron hitam pekat membunyikan klakson.

"Sialan. Makanya, aku sudah bilang untuk pekerjakan saja pelayan di sini."

Meski dengan bersungut-sungut, Selden tetap menggeser pagar sehingga mobil yang menampakkan Bariel di bangku kemudi dan Kazer di bangku penumpang itu bisa masuk ke garasi.

"Okay. Apa tidak ada kata terima kasih?"

Alhasil, Selden pun melenggang masuk, ia memilih untuk menunggu mereka di meja bar.

Beberapa menit kemudian, derap-derap langkah Bariel dan Kazer terdengar ada di dekatnya. Jadi, Selden memutar kursi supaya bisa menemukan wajah-wajah adik-adiknya yang seharian ini tidak di rumah. Jika Bariel tampak sumringah, Kazer justru tampak murung. Ya, tanpa bertanya pun, Selden tahu apa alasannya.

"Aku kan sudah bilang. Kalau kau ikut ke sana, sama saja dengan cari mati, sama saja dengan melukai dan menyakiti dirimu sendiri," Tentu saja kalimat ini Selden tujukan untuk Kazer, tapi si bungsu Shire itu tidak mengatakan apa-apa sebelum memutuskan untuk segera berlalu ke kamarnya, "See? Begitu jadinya kalau tidak menurut padaku."

Bariel tertinggal di antara rasa ingin menyusul Kazer atau menetap di sini untuk diinterogasi Selden. Namun, untuk opsi pertama, dia tidak tahu harus membujuk dengan kata-kata apa lagi, sementara untuk opsi kedua, dia tinggal menjawab pertanyaan saja. Jadi, Bariel duduk di depan Selden, ia biarkan laki-laki dingin ini menuangkan beer ke gelasnya.

"Kau bertemu—semuanya? Appa? Eomma?"

Setelah meneguk alkoholnya, Bariel mengangguk sekilas, "Aku tidak tahu harus senang atau sedih."

"Kenapa? Kau tidak nyaman dengan Kazer?"

Bariel mengedik, "Kasihan. Maksudku, yah, seperti yang sudah kita tebak, Eomma hanya melihatku dan kalau aku jadi Kazer pasti rasanya sakit sekali diusir Ibu yang begitu ingin dia temui."

"That is why, keputusanku untuk tidak ikut itu sangat tepat," Selden mematikan rokoknya di asbak, lalu menyambung lagi, "Kazer diusir Eomma, tapi kau dirindukan Eomma? Tsk, kesenjangan yang tidak masuk akal. Bukankah dia sedang dirawat? Kenapa tidak sembuh-sembuh dan mengingat semua anaknya, sih?"

Bariel mengesah, "Bagaimanapun, menyembuhkan mental itu tidak instan, Kak. Aku paham karena aku suka baca literatur psikologis. Intinya, aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi Kazer sekarang."

"Yah," Selden mencebik, "Kan bukan salahmu. Dia saja yang tidak mau terima kenyataan."

Padahal mereka berdua sama-sama tahu bahwa Kazer—sebagai yang paling kecil di antara mereka bertiga—masih merasa butuh kasih sayang orang tuanya, menjadi yang paling kurang waktu bersama ibunya dan ayahnya, sementara Selden dan Bariel sempat punya porsi lebih banyak.

"Appa?"

Bariel menggoyangkan gelasnya sambil berpikir, baru menyahut, "Bajingan itu mengembalikan trauma Kazer. Dia sempat kena serangan panik tadi dan aku baru tahu dia bisa sampai seketakutan itu."

"Kau baru tahu karena kau hanya bersembunyi di pelukan Eomma," desis Selden, "Mm, sementara aku dan Kazer yang menghadapi pria bejat itu."

"Ah, benar. Sorry," sesal Bariel seraya menundukkan kepalanya, "Maaf aku sudah berpikir pendek dan melompat dari lantai dua hingga semua pesakitan dan penderitaan kalian berdua ini terjadi begitu saja."

Scheme [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang