15; sempat menyerah

128 23 1
                                    

Setelah Chalfo dan Jovar mengantarnya pulang, Kazer segera mengunci diri di dalam kamar. Ia sempat bersyukur sebab mereka berdua tidak menyuruhnya mendatangi klinik Jouseff atau bersikeras ingin tahu tentang apa yang terjadi padanya. Jadi, Kazer bisa leluasa melahap ARV-nya yang tadi tak sengaja lupa ia konsumsi. Namun, setelah beberapa menit menunggu, ternyata tidak seinstan itu. Kazer masih kelimpungan sendiri; ia masih demam, pusingnya justru semakin menjadi-jadi, dan sekarang dia malah ingin muntah.

Maka, sebelum ia benar-benar mengotori kasurnya, Kazer pun berlari menuju toilet—yang kebetulan ada di kamarnya juga.

Begitu menghadap kloset, Kazer mengeluarkan seisi perutnya.

"Hah—sial," Kazer mengumpat setelah ia bisa menopang dirinya sendiri dengan kedua kaki yang mulai terasa lemas. Ia pun segera menghapus noda-noda yang tercetak di sudut bibirnya, baru kembali berjalan lunglai ke ranjangnya sana. "Should I die?"

Entah bagaimana, Kazer ternyata tidak sampai di tempat tujuannya. Dia sudah lebih dulu tersungkur di lantai dalam keadaan tidak sadarkan diri.

***

"Maksudmu? Ada urusan apa menyebutku tidak sekompeten saudara-saudaraku? Memang kau mengenal kita semua? Hah?"

Bariel bersungut-sungut sendiri, ia sempat heran saat dua orang pria ini masuk dan seketika itu sinar laser di sekelilingnya mati. Namun, ia lebih heran lagi dengan sosok misterius di samping si rambut brunette itu. Dia bicara seolah sudah mengamati, dia bicara seakan sudah tahu.

Carlos tersenyum di balik topengnya, "Yah, aku sudah mengetes kalian bertiga. Hasilnya menjurus pada satu hal, yaitu uang. Selden, dengan ketamakannya cukup profesional mengedarkan barang-barang ilegal itu serapi mungkin. Kazer, dengan kenaifannya cukup berkarakter menjadikan dirinya sebagai ladang pesakitan. Mereka berdua totalitas sekali. Tapi, kau, Bariel, bagaimana kau bisa ceroboh? Ini pekerjaanmu, kan? Kenapa kau bisa menyenggol sinar lasernya? Oh, setahuku, kau juga pernah ditembak polisi, kan?"

Bariel memalingkan wajah, separuh merasa direndahkan, separuh lagi merasa sangat malu. Bagaimanpun, itu berupa aib baginya. Namun, dengan mengesampingkan semua ucapan Carlos, jujur ia terganggu dengan efek voice changer yang dipakai orang itu.

"Jadi ternyata, kau ini orang yang memerintahku, kau juga yang mengonsep semuanya? Kau sengaja memasang sinar-sinar laser sialan di perusahaanmu sendiri, lalu menyuruhku untuk merampas satu berkas penting?" ungkap Bariel, mulai kesal. "Terima kasih untuk main-mainnya, aku tidak akan mau berurusan denganmu lagi."

Sebelum Bariel melewatinya, Carlos menyebut satu nama, "Yoo Hui. Ibu kalian bertiga itu, apa masih cantik seperti dulu?"

Kali ini, Bariel berhenti melangkah, tapi badannya seketika menegang.

"Apa maksudmu menyebut Ibuku? Kau siapa, sih?!"

Begitu Bariel hampir menarik topeng yang dikenakan Carlos, Cavin pun terburu mencegahnya dengan membawanya mundur.

"Lepaskan aku, Brengsek! Beraninya kau menyebut Ibuku begitu?! Siapa dirimu?!"

Ketika Bariel memberontak, isyarat tangan Carlos telah menyuruh Cavin untuk menggiringnya keluar dari gedung bertingkat ini. Sepeninggal Bariel, Carlos baru melepas topengnya, lalu berjalan menuju meja kerjanya di dalam ruangan penuh sinar laser ini, terakhir ia duduk nyaman sambil menyandarkan punggung di kursinya.

"Bariel, Bariel. Apa kau masih bisa disebut pencuri?"

Kemudian, Carlos membuka salah satu laci—tempat di mana berkas penting yang seharusnya Bariel berhasil ambil. Carlos pun segera membuka amplop cokelat itu, lantas mengeluarkan berlembar-lembar foto yang bertahun-tahun ini telah menjadi subjek utamanya.

Scheme [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang