17; pertemuan canggung

126 18 2
                                    


Jovar tersenyum sumringah saat mendapati rekeningnya kini dipenuhi uang-uang dari Selden. Ia mengisap rokok sambil mengepulkan asapnya ke udara, lantas memandangi lalu lintas New York yang padat merayap dari atas balkon apartemennya ini. Namun, dia tetap diam saat sandi di pintunya berbunyi, pertanda bahwa sebentar lagi akan ada seseorang yang bergabung dengannya.

"Jovar."

Jovar hafal suara siapa ini, jadi dia tidak perlu menoleh dan menunggu sampai Kazer akhirnya berdiri di sebelahnya, "Ini masih pagi, Kazer. Ada apa?"

"Kau yang menembak bahu Ayahku?"

Jovar malah tiba-tiba tertawa, "Oh, Ayahmu? Kau menyebut monster keparat itu sebagai Ayahmu? Setelah apa yang dia lakukan padamu?"

Kazer mengesah, separuh dirinya kelimpungan menjawab pertanyaan Jovar, tapi separuhnya lagi tak memungkiri bahwa ia merindukan sosok Jung Hyuk hingga berharap lebih jika pria itu mau berubah, "Bukan masalah itu. Tapi, aku tidak setuju keberadaanmu di Xelaile jika tugasmu hanya untuk melukai, mencelakai, dan menyakiti orang-orang."

"Yah, kalau orang itu bersalah, kenapa tidak?" Jovar akhirnya berbalik dan menyandarkan diri di pagar balkon, "Aku masih tidak mengerti kenapa kau sekeberatan dan semenentang pekerjaanku. Toh, harusnya kau senang aku akhirnya punya pekerjaan, kan?" Kemudian, dia melenggang masuk setelah membuang puntung nikotinnya ke tempat sampah, sejenak membiarkan Kazer tercenung beberapa detik sebelum berakhir mengikutinya ke pantry, "Kau mau kopi?"

Kazer tidak mengangguk atau menggeleng, tapi Jovar tetap menyiapkan dua gelas di bawah mesin kopinya. Setelah itu, dia mencuri pandang demi memperhatikan Kazer, temannya itu kini duduk di meja makan sana sambil berpikir keras, lantas ia dengar lirihannya, "Aku jadi tidak bisa mempercayai siapa-siapa sekarang. Selden, kau, siapapun."

"Sorry," Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Jovar mengantar satu gelas kopi untuk Kazer dan satu gelas lagi untuk dirinya. Lantas, mereka duduk berhadapan, "Aku punya saran. Bagaimana jika untuk sekarang, kau dukung saja apa yang akan Selden dan aku lakukan untuk Xelaile? Kau bisa tetap bekerja di tempat yang kau mau itu, maka aku juga bisa bekerja di tempat yang aku mau juga."

"Kalau kau tertangkap? Kalau kau dihukum mati?"

"That's my risk and I'll handle it well," Jovar mengerling sebelum menyeruput kopinya yang masih panas, "Thanks sudah mengkhawatirkanku."

"Kalau Xelaile hancur lebur karena kekacauan yang mungkin kau sebabkan?"

Jovar tersenyum miring, lalu melirik jendela sebentar sebelum mengembalikan tatapannya menuju mata bulat Kazer, "I promise it won't happen. Aku akan bermain serapi mungkin, sebersih mungkin, dan sesempurna mungkin. Tidak akan aku tinggalkan jejak yang berpotensi merugikan Xelaile."

Kazer masih meragu—tidak seharusnya dia menuruti Jovar, tapi untuk melawan Selden pun dia tak punya adidaya.

Karena kendali Xelaile bukan di tangannya.

Lain hal jika Xelaile menjadi miliknya seutuhnya.

"Jovar."

"Mm? Apa? Kau akhirnya menyerah?"

"Semisal aku punya otoritas atas semua yang terjadi di Xelaile, bagaimana?"

Jovar seketika mengernyit heran dengan pemikiran ambigu Kazer barusan.

***

"Yeobo, kau baik-baik saja?"

Jung Hyuk berusaha mendudukkan diri setelah ia mendapati Yoora berdiri di sebelah ranjangnya. Berulang kali, Jung Hyuk mengumpat saat si penembak dinyatakan berhasil lolos dari kejaran para pengawalnya. Kini, karena insiden itu, mereka memutuskan untuk menunda penghitungan suara hasil pemilu demi mengantisipasi kejadian berbahaya lainnya. Sehingga Jung Hyuk harus menyembuhkan luka tembak di bahunya dulu sebelum membalaskan dendamnya.

Scheme [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang