Selden belum bangun saat Bariel dan Kazer pergi ke bandara untuk penerbangan mereka ke Seoul. Kini, Kazer memandangi luar jendela, sementara Bariel merasa gugup sendiri, padahal sebentar lagi perjalanan mereka usai.
"Kenapa?" Kazer menyadari perubahan Bariel; dia yang selalu percaya diri, dia yang selalu berani pada apapun, sekarang seperti anak anjing kehilangan induknya. Mungkin perumpaan itu lebih tepat ditujukan untuk dirinya dari pada Bariel, "Eomma pasti merindukanmu. Jadi, apa yang kau takutkan? Justru aku yang perlu menyiapkan diri agar tidak kecewa saat nanti Eomma menyayangimu terang-terangan di depanku."
Bariel menoleh, sekejap itu ia menemukan sorot mata terluka Kazer—yang baru pertama kali ia lihat di jarak sedekat ini.
"Sorry."
Kazer hampir tersedak dan urung meneruskan tegukan air putihnya, "For what?"
"Everything."
Bariel menunduk, ingin seberusaha mungkin menghindari kejaran tatap Kazer—yang makin memperbesar ruang rasa bersalahnya.
"Kau tidak berencana menetap di sini, kan?"
Bariel spontan menggeleng, "Aku ingat perintah Kak Selden, kok."
"Kalau mau, tidak apa, sih. Aku bisa carikan alasan."
Bariel terdiam seketika, tapi untuk tawaran Kazer barusan dia memang harus menolak, karena ada banyak pertimbangan dan keputusan yang perlu diambil. Lantas, ia mencicit, "Apakah Appa nanti juga ada di sana?"
Kazer mengedik sekilas, "Mm, mana aku tahu? Tapi, menurutku, kalau Appa ada di sana dan tahu kita berdua kemari demi Eomma, dia sudah pasti tak mengijinkan kita terlihat di publik. Kata Selden, Appa akan mencalonkan diri sebagai Presiden, jadi kalau kita tiba-tiba muncul bukankah akan memicu petaka?"
Bariel tercenung sesaat, namun dia juga sedang memikirkan omongan Kazer yang memang butuh atensinya, sebab mereka memang sengaja dibuang untuk tidak menimbulkan masalah di sini. Kemudian, dia melirih, "Jadi, kau takut menemui Appa?"
Kazer tergelagap, tidak ia pungkiri tebakan Bariel memang sedikit banyak tak meleset.
"I'm okay. Toh, tujuan kita bukan untuk mengacaukan apapun di sana, kita hanya akan menjenguk Eomma, bukannya mau balas dendam pada Appa,"
Bariel setuju, lalu ia basahi bibirnya sebelum bicara lagi, "Sepertinya tidak akan semudah itu menemui Eomma. Kita butuh perhitungan strategi."
"Not anymore. Aku tidak mau menyamar. Pokoknya, kalau ada yang menghadang, tinggal pakai kekerasan saja. Beres, kan? Kalau kau tidak mau, aku bisa melawan mereka sendiri."
Bariel akhirnya tidak mengelak lagi, tapi dia merasa heran saat Kazer terburu menenggak dua pil pahit itu.
"Kau minum apa?"
"Obat pusing. Ya, aku agak pusing. Mabuk udara, mungkin."
"Kau mabuk apa?"
Bariel sangsi, tapi Kazer pura-pura sibuk membereskan barang bawaannya setelah pramugari mengatakan kalau pesawat mereka sudah mendarat di Incheon.
***
"Thanks."
Chalfo mendongak pada Selden, baru meletakkan gelas berisi americano-nya di meja. Ia paham maksud si lawan bicara, tapi agak tidak begitu menyangka laki-laki dingin ini mau mengatakannya, "Karena aku menyewakan anak buahku untuk mengawasi adik-adikmu? See, you've worried 'bout them."
"Thanks, that's it."
Selden sempat melengos, lalu memadangi sisian jendela dengan pemadangan trotoar yang cukup ramai dipenuhi orang-orang berlalu-lalang, baru menggumam, "Aku tidak khawatir, tapi aku perlu mereka untuk segera kembali ke sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Scheme [✓]
Mistério / SuspenseTiga bersaudara ini hidup dalam kegelapan. Meski tinggal seatap, tidak satu pun saling menaruh peduli. Masing-masing punya pesakitan dan penderitaan sendiri, yang disimpan rapat-rapat dalam kotak masa lalu. Meski begitu, tujuan mereka tetap berorien...