1

11.2K 477 20
                                    

_TP_

"Zeendy, ada dua paket lagi yang harus kamu antar. Jadi hari ini sedikit lembur ya," kata petugas lain yang mendata pengiriman paket.

"Iya pak. Setelah ngantar saya izin langsung pulang, jadi ga usah bawa tas gedhe ini. Lagi pula paket terakhir ukurannya kecil. "

Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Zeendy Putra Jirnan Atmojo, pemuda berumur 24 tahun ini bekerja sebagai tukang pengantar paket. Hari-harinya di isi dengan bekerja. Untuk urusan cinta Zeendy tak terlalu memikirkan. Karena dulu dia pernah tersakiti karena cinta. Jadi, beginilah dia hanya menjalani hidup sebaik mungkin.

Malam ini dia terpaksa pulang sedikit telat karena masih ada dua paket yang harus di antar. Motor beat nya melaju di tengah keramaian malam ini menuju tempat tujuan pertama.
Akhirnya Zeendy telah menyerahkan paket ke penerima pertama. Tinggal satu paket lagi sekarang, tanpa tunggu lama Zeendy, segera meluncur ke rumah tujuan.

Motor Zeendy berhenti di depan rumah yang bertuliskan nomor 23. Melihat gerbang rumah itu terbuka, Zeendy memilih untuk masuk dengan paket yang berukuran sebesar kardus snack jajan di tangannya. Sampai di depan pintu Zeendy, memencet bel.

Ting!

Tak ada jawaban. Zeendy mencoba lagi.

Ting!

Ceklek!

Akhirnya!

"Mbak ada paket~" akhir kata Zeendy melirih karena sedikit terkejut melihat perempuan di depannya.

"Mbak, kenapa?" tanya Zee setelah melihat perempuan yang wajahnya basah karena air mata sebab menangis sesenggukan, rambut yang cukup acak-acakan, tas yang di selempangkan serta satu buah koper di tangan kanannya. "Mbak, mbak kenapa?" tanya Zeendy lagi cukup khawatir.

"Bawa saya pergi."

"Lahh?" Zeendy bingung.

"Saya pengantar paket mbak, bukan tukang ojek," lanjut Zeendy.

"Saya tau! Nanti paketnya saya bayar! Bawa saya pergi dulu."

"WOI PERGI SONO LU, DASAR JALANG GA BERGUNA!" Suara terikan dari dalam rumah.

"BACOT!" Jawab perempuan ini.

Zeendy mengerti sekarang. Sepertinya perempuan ini sedang ada masalah rumah tangga?

"Ayo!" Perempuan itu menarik tangan Zeendy begitu saja.

"Eh, mbak-mbak, saya mau dibawa kemana?"

Ngeengg~

Deru motor terdengar di sepanjang jalan. Zeendy menyetir dengan suasana canggung, sebab kali ini dia sedang membonceng seorang perempuan yang masih nangis sesenggukan di belakang. Pasti jika orang melihat akan mengira mereka berdua sedang bertengkar.

"Mbak, ini kita mau kemana?" tanya Zee membuka suara.

"Terserah."

"Haduhh, kita makan malam aja ya mbak? Kebetulan saya juga belum makan," usul Zee.

"Terserah."

Tanpa pikir panjang Zeendy melajukan motornya ke tempat penjual nasi padang langgananya.

_TP_

"Nama mbak siapa kalau boleh tau?" tanya Zeendy sambil menunggu pesanan nasi padangnya jadi.

"Nama saya, Chika Ayana Wulandari, umur saya 27 tahun, kamu bisa panggil saya Chika."

"Oh kenalin mbak, saya, Zeendy." Mereka saling berjabat tangan mengenalkan diri. "Kalau boleh tau, tadi ada apa ya mbak? Eh, tapi kalau mbak ga mau jawab ga papa kok," kata Zeendy.

"Berantem, masalah rumah tangga. Saya dulu nikah dijodohin orang tua saya. Katanya lelaki yang dijodohin sama saya itu yang terbaik, tapi mana nyatanya? Psikopat! Hiks~ cape saya. Lihat aja bakal gue ceraiin!" Jelas Chika.

"Yang sabar ya mbak, nih tisu." Zeendy menyerahkan selembar tisu pada Chika yang dia ambil dari depannya.

"Hiks~ makasih."

"Terus setelah ini mbak mau kemana?" tanya Zean.

Chika menggelang. "Ga tau, saya juga bingung."

"Mau saya antar ke rumah orang tua mbak?"

"Jangan, pasti malah di ceramahin sama mereka. Padahal udah jelas-jelas saya korban di sini," jawab Chika.

"Terus mbak mau kemana? Mau saya antar ke rumah temen deket mbak?" tanya Zeendy.

"Saya, boleh ikut mas aja nggak?"

"Ha?!" Zeendy terkejut mendengarnya, "I-ikut saya?"

"Iya mas, kenapa ga boleh ya? Hiks~ saya bingung mas mau kemana lagi. Kalau pun pulang saya berani besok. Tolong mas izinin semalem ini aja mas, buat saya istirahat ya," pinta Chika dengan cukup dramatis.

"T-tapi mbak—"

"Kenapa? Mas punya istri ya? Takut istri mas marah?"

"Nggak kok, nggak gitu. Saya masih lajang. Tapikan emm...."

"Saya mohon mass." Chika menyatukan tahannya memohon dengan muka memelas membuat Zeendy merasa iba.

"Huh~ yaudah deh. Mbak bisa istirahat di rumah saya," putus Zeendy.

"Beneran mas? Makasih."

"Mas, pesananya." Pelayan datang membawakan pesanan mereka berdua.

Mereka berdua sudah siap makan sekarang. Nasi padang di depannya ini cukup menggugah selera. Sungguh sangat menggoda. Mereka mulai makan masing-masing. Namun, waktu makan Chika terhenti saat melihat Zeendy makan menggunakan sendok bukan dengan tangan kosong.

Heoll!!

Sekte dari mana ini?

"Mas! Kok mas makan pakek sendok sih?!

"Loh, makan kalau nggak pakek sendok terus pakek apa mbak? Masa pakek hidung?"

"Bukan gitu maksud saya! Mas makan nasi padang pakek sendok? Mas sekte dari mana?" heran Chika.

"Enakan pakek sendok mbak. Tangan kita jadi ga kotor. Kalau pakek tangan langsung kayak mbak kan jadi kotor tangannya," jelas Zeendy.

"Fiks sih, kita ga sefrekuensi. Mas harus makan pakek tangan!"

"Loh kok maksa? Serah saya lah mbak."

"Mas ngalawan?"

"Iyalah, orang lagi makan di ganggu. Mbak ini aneh. Mending anteng, diem makan buru biar cepet kenyang," kata Zeendy.

"Ck! Mas-mas ini sungguh nyebelin!"

"Mbaknya nyebelin. Segala makan aja pakek di permasalahin."

















Cerita baru gess! Apakah akan rame? Kita lihat saja.

Seperti binasa, mon maap kalau typo ya ges ya.

Tukang Paket [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang