Dua Puluh Tujuh

125 23 52
                                    

Sempiternal
Story by yeolki_

SempiternalStory by yeolki_

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading
🌿









"S-Stevy ... Ayah. A-Ayah pergi."

Kebingungan kembali melanda Stevy. Pergi? Ayah pergi ke mana? Apa Ayah bertengkar dengan Bunda sampai pria itu pergi dan Bunda menangis karena ini? Stevy rasa tidak mungkin. Ayah bukan seperti dirinya yang akan pergi setelah bertengkar hebat seperti waktu itu. Lalu, apa maksud Bunda?

"Bunda, Ayah kenapa? Ayah pergi ke mana?" tanya Stevy meminta penjelasan.

Isakan kembali menyapa Stevy. Bunda terdengar menangis. Tanpa berkenan untuk menjawab pertanyaan Stevy. Seolah tidak ada kata lagi yang bersarang di otaknya. Hingga tidak bisa mengeluarkan sepenggal kalimat penjelas dari apa yang sempat diucapkan.

Tidak berselang lama, suara Bian menemui gadis itu. Suara itu menyapa Stevy di ambang panggila. Ia berujar, "Stevy, Ayah meninggal dan sebentar lagi gue jemput lo di sekolah."

Singkat padat dan jelas. Stevy bisa dengar dengan jelas ucapan kakaknya. Iya, Ayah pergi berarti Ayah meninggal.

Gadis itu hanya berdiri mematung. Memandang kosong ke arah gerbang sekolah. Pikirannya kosong. Tidak ada stok kata lagi yang bisa ia lontarkan sekarang. Bahkan ia tidak pedulikan lagi ucapan Bian yang bertanya pada Stevy. Stevy hanya terdiam membisu. Tidak tahu harus berkata apa-apa lagi.

Panggilan tertutup. Bian menutupnya dari seberang panggilan. Mungkin, ia harus segera bergegas menjemput Stevy.

Stevy menjauhkan ponselnya kali ini. Membawa benda petakan itu ke sisi kanan tubuhnya dan masih memegangnya dengan erat. Ia tidak salah dengar. Gadis itu amat jelas mendengar ucapan Bian. Ayahnya sudah tiada. Benar-benar tiada dan tidak ada yang bisa Stevy harapkan setelah itu. Ayah tidak akan pernah berubah karena Tuhan memanggilnya lebih dahulu.

Bulir air muncul di pelupuk mata Stevy. Turun mengalir di pipinya. Kumpulan memori muncul di benaknya. Seolah sengaja membuat Stevy semakin jauh masuk ke dalam kesedihan tidak berujung ini. Memori tentang ayahnya terus berputar. Mengusik batinnya yang entah mengapa patah tidak berbentuk lagi.

Napasnya tercekat. Beberapa kali ia harus menelan salivanya agar bisa melembapkan tenggorkannya yang kering. Semakin lama, air itu terus jatuh. Tidak bisa berhenti. Stevy tidak bisa membendung air itu. Mereka terus keluar tanpa henti. Rekaman memori itu sedikit menyiksa batin Stevy.

Lalu, senyum ayahnya terlintas di benak gadis itu. Sungguh, Stevy tidak kuat lagi.

Stevy menjatuhkan dirinya begitu saja. Ia tidak peduli bagaimana kasarnya paving jalan itu. Permukaan kasar yang menyentuh sebagian kakinya, tidak begitu menyakitkan daripada ini. Hal ini lebih menyakitkan daripada apa pun.

Stevy lebih baik mendapatkan nilai buruk atau kalah dalam pemilihan wakil ketua OSIS. Daripada harus merasakan ini. Sungguh, ini bukan porsi yang pas untuk ia rasakan. Kesedihan ini terlalu berat untuk ia pikul. Begitu berat sampai ia tidak tahu harus lakukan apalagi selain menangis dan terisak.

Sempiternal [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang