Tiga Puluh Enam

42 15 5
                                    

Sempiternal
Story by yeolki_

SempiternalStory by yeolki_

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading
🌿






Cakrawala kini sudah cukup cerah. Meskipun matahari masih setia bersembunyi di balik awan jingga terang pada sudut 60 derajat arah barat. Stevy turun dari boncengan motor kakaknya. Melepaskan helm. Sembari memegang kepalanya yang sudah begitu berat.

Beruntung, proposal itu selesai lebih awal. Setidaknya, sebelum pukul empat sore Stevy bisa pulang ke rumah. Mengistirahatkan diri dan bersiap belajar untuk ujian besok. Termasuk beristirahat karena pusing di kepala Stevy semakin menjadi.

Stevy melangkah sambil menggeret kaki untuk masuk ke rumahnya. Sungguh, kepalanya begitu pusing sampai ia ingin buru-buru ke kamar saat ini. Tetapi, gadis itu terlalu lemas untuk bergerak cepat.

Pergerakan lamban ini pun berhasil menarik perhatian Bian. Biantara Wiryatama, laki-laki dengan tas ransel dan kemeja bermotif kotak-kotak berwarna hitam juga biru. Ia memantau sang adik dari motornya. Sembari melepaskan helm yang melindungi kepalanya sepanjang jalan tadi.

Sepanjang perjalanan, Stevy memang selalu diam. Bian pikir, mungkin sedang malah bercerita atau tidak ada topik yang dibahas. Setelah ia melihat Stevy saat ini, membuat Bian yakin, gadis itu tidak baik-baik saja sekarang.

Bian letakkan benda itu di spion motornya. Lalu, melangkah cepat menghampiri Stevy yang terlihat memegang kepalanya.

"Stevy, lo kenapa?" tanya Bian sesaat setelah berdiri di sisi adiknya.

Stevy menggeleng untuk merespon ucapan Bian. Gadis itu memilih membersihkan alas sepatunya dengan keset bertuliskan welcome. Lalu, menatap Bian dan memberi senyum pada sang kakak tercinta. Meskipun itu hanya senyuman tipis.

"Enggak apa-apa, kok, Kak. Cuman lagi capek aja," jawabnya.

Bian tentu tidak percaya. Terlihat jelas, jika gadis itu tidak terlihat seperti orang sedang lelah. Malah seperti orang sedang sakit. Wajah pucat itu sudah memperjelas keadaan Stevy. Ia lantas bertanya kembali, "Yakin? Lo pucat, lho, Vi. Enggak mau ke dokter aja?"

"Enggak perlu, Kak. Stevy enggak-"

"Enggak perlu apa, Sayang?" Sonia mendadak datang menghampiri kedua anaknya yang baru sampai di rumah.

Dengan celemek yang masih menempel di badannya, wanita yang menggelung rambutnya itu menatap Bian dan Stevy bergantian. Menatap dua anaknya yang kali ini menatap sang bunda bersamaan.

"Ini, lho, Bunda! Stevy mukanya pucat. Dari tadi juga, Stevy pegang kepalanya terus. Bian mau ajak dia ke dokter, cuman Stevy enggak mau," jelas Bian panjang lebar. Mengadukan kelakuan adiknya yang menolak ke dokter.

Atensi Sonia yang awalnya pada Bian, kini beralih pada Stevy. Gadis yang hanya bisa memasang senyum dan berusaha tidak terlihat sedang sakit. Tentu saja menahan rasa pusing yang terkadang berdenyut di kepala.

Sempiternal [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang