Tiga Puluh Empat

54 12 0
                                    

Sempiternal
Story by yeolki_

SempiternalStory by yeolki_

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading
🌿

Gerimis masih awet mengguyur kota. Entah sampai kapan gerimis ini berakhir. Langit seolah ingin bersedih sepanjang hari. Langit mendung terus mendominasi. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Hanya, saja mentari masih betah berselimut awan kelabu.

Di antara rinai dan jalan yang basah, Stevy melangkah perlahan mengikuti Laras. Setelah sekian ajakan, akhirnya Stevy ikut serta ke kantin. Sembari membawa buku catatan yang ia peluk, gadis itu setia menapaki jalan paving yang terdapat kubangan air.

Sesekali, Stevy memijit pelipisnya. Entah mengapa sejak tadi kepalanya begitu pusing. Suhu panas tubuhnya terasa semakin naik. Entah berapa celcius suhu tubuhnya, wajah Stevy terlihat begitu pucat saat ini.

Laras yang melangkah mendahului Stevy, sesekali melihat gerak langkah kawannya itu. Ia bertanya, “Lo enggak apa-apa, Vi?”

Stevy tentu saja menggeleng. Ia bisa tahan rasa pusing dan panas yang mulai menggerayangi tubuhnya itu. Seutas senyum diberikan gadis itu. Sebagai penanda jika Stevy baik-baik saja. Di sisi lain, Laras tampak khawatir kali ini. Ia putuskan menghentikan langkahnya. Lalu, membiarkan Stevy melangkah terlebih dahulu melewati jalan paving yang tidak terlalu lebar ini.

Tanpa sepatah kata apa pun, Stevy melangkah mendahului. Ia biarkan Laras berada di belakangnya. Langkah mereka terus menuju tujuannya. Kantin, yang kali ini cukup ramai. Asap mengepul dari gerobak bakso Pak Bambang. Aroma kuah bakso yang khas menyeruak di antara gerimis. 

Namun, tujuan Stevy bukan ke sana. Melainkan ke bangku yang kini sudah ditempati oleh Dinda dan Marissa. Jangan lupakan seonggok laki-laki yang terduduk di sisi Dinda. Siapa lagi jika bukan Putra Rajendra.

“Syukurlah, kalian dateng. Gue hampir jadi nyamuk kalau kalian enggak ada,” keluh Marissa sambil setia menopang sendok berisi lontong dan kuah itu.

Laras terkekeh kecil. Sedangkan Dinda yang duduk di hadapannya, menatap Marissa ketus. “Gue enggak jadiin lo nyamuk, ya, Sa!”

Marissa melahap lontongnya sejenak. Lalu, mulai mencibir tanpa suara. Tidak tahu saja, ia harus melihat adegan mesra di saat suapan pertama. Dinda menyuapi Putra yang sepertinya tengah bermain game online itu, dengan roti selai kacang. Roti yang katanya dibuat dengan tangan kasih sayang Dinda. Marissa mendengarnya ingin saja muntah. Mereka seolah lupa jika masih ada Marissa di depan mereka. Apa orang bucin selalu seperti ini?

Laras dan Stevy kini duduk di sisi Marissa. Stevy putuskan membuka buku catatannya. Sedangkan Laras menoleh ke arah gerobak Pak Bambang yang cukup padat. “Lo mau makan apa, Vi?” tanya Laras setelahnya.

Stevy menggeleng kecil. Ia sedang tidak dalam mood yang baik untuk makan. Karena ujian PPKN yang sedikit sulit ini, membuat otaknya pusing. Ujungnya, ia malas untuk makan. “Gue enggak makan. Gue mau belajar Agama dulu,” tolaknya disertai senyum kecil.

Sempiternal [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang