Sempiternal
Story by yeolki_Happy Reading
🌿
"Lo yang mengadu ke Ayah, 'kan?"
Stevy mulai menodong Laras dengan pertanyaan. Dengan nada dinginnya, ia menatap Laras tajam. Sedangkan, gadis yang berdiri di sisi meja nakas itu, menatap Stevy dengan kebingungan. Tuduhan apa ini? Mengadu soal apa? Demi apa pun, Laras tidak tahu.
"Mengadu apa, sih, Vi? Gue ngadu apa ke ayah lo?" tanya Laras tidak paham dengan konsep mengadu yang dimaksud Stevy kali ini.
Stevy yang mendengar pertanyaan itu, lantas menjawab, "Lo yang bilang ke Ayah kalau gue pergi ke Taman Bakau. Itu sebabnya, dia tahu gue di sana dan tampar gue di depan semua orang."
Tempo bicara Stevy memang sedikit lebih cepat dari sebelumnya. Namun, nada bicaranya tetap saja begitu dingin. Berhasil membuat Laras mengerti maksud kata mengadu dalam kalimat Stevy tadi. Ucapan Stevy mengarah pada hari itu. Hari di mana gadis itu mendapatkan tamparan pertamanya dari sang Ayah.
"Gue enggak tahu apa pun soal itu, Vi. Bahkan gue enggak ada di lokasi waktu ayah lo datang. Meskipun, Tante Sonia hubungin gue, bukan berarti gue ngadu soal lo, Vi," jelas Laras membela dirinya.
"Apa yang diucapin Laras bener, kok, Vi. Laras enggak ngadu apa pun ke ayah lo." Dinda bersuara kali ini. Setelah sekian lama, ia akhirnya mengeluarkan kata-kata untuk membela.
Namun, apa Stevy percaya? Tentu saja tidak. Bahkan fakta baru terkuak sekarang. Bunda sempat menghubungi Laras sebelumnya. Itu artinya, memang Laras yang mengadukan soal ini. Seingat Stevy pula, hanya Laras yang terlihat tidak begitu senang dirinya datang.
Stevy menarik napasnya panjang. Ia kembali memalingkan wajahnya ke arah lain. Mencoba menahan tangisnya. Sungguh, sepertinya secara tidak langsung ia sedang dikhianati. Bahkan, mungkin saja mereka bekerja sama. Bekerja sama untuk mengadukan Stevy pada ayahnya.
"Kalau bukan lo ..., siapa lagi, Ras?" Stevy memalingkan wajahnya kembali menatap Laras. Matanya berkaca-kaca kali ini. Meskipun sepasang mata itu menatap Laras begitu tajam. "Bahkan lo enggak pernah cerita, soal Bunda yang hubungin di hari itu. Bukannya itu udah cukup jelas, siapa yang ngadu?" lanjutnya.
Laras tentu saja menggeleng. Ia mencoba membela dirinya. Gadis itu bahkan menghampiri Stevy. Mencoba menjelaskan. "Gue berani sumpah, Vi. Gue enggak-"
"Apa susahnya mengaku, sih, Ras? Tinggal akuin, kalau memang lo yang ngadu. Gampang, 'kan?" sela Stevy diakhiri senyuman sinis.
Di sisi lain, Marissa mengutarakan pembelaannya untuk Laras. Ia berkata, "Tapi, Vi ... Laras enggak melakukan hal yang lo tuduh. Buat apa dia akui hal yang enggak pernah dia lakukan?"
Stevy tertawa getir. Ia menatap Marissa tidak percaya. "Lo juga bela Laras sekarang?" tanyanya.
Namun, Marissa tidak menjawab pertanyaan itu. Ia memilih membisu. Stevy mengangguk mengerti sekarang. Mungkin memang hanya dirinya yang berjuang dalam persahabatan ini. Ia mencoba mempertahankan Dfours apa pun caranya. Namun hari ini, ia malah temukan sosok asli mereka.
"Gue juga mau seperti itu. Cuman 'kan ..., kita enggak tahu masa depan, Vi. Kita bisa aja bertengkar lalu pergi setelahnya."
Kalimat itu terlintas di benak Stevy. Laras sempat berujar hal demikian padanya waktu itu. Pada hari di mana ia kesal pada teman-teman. Apa Laras tengah berusaha membuat ucapannya ini semakin nyata?
"Memang lebih baik ..., Dfours bubar aja." Stevy beralih menatap ke arah Laras yang terlihat kaget dengan pernyataannya. Senyum Stevy tersungging sejenak. Lalu melanjutkan, "Bukannya itu yang lo inginkan, Ras? Kita enggak tahu masa depan. Kita bisa aja bertengkar lalu pergi setelahnya."
Laras amat ingat ucapan itu. Ia sempat katakan kalimat itu pada Stevy saat membujuknya. Namun, bukan itu niatnya. "Stevy, lo salah. Gue enggak pernah mau kita bertengkar. Bahkan, gue enggak mau lihat lo sama Sonya jauh-jauhan," jelasnya.
"Tapi kalian juga bakal pergi seperti Sonya, 'kan? Bukannya sama aja? Terus buat apa gue pertahanin Dfours?" tanya Stevy bertubi-tubi sembari masih setia menatap Laras.
"Lo lupa, Vi? Lo yang mau Dfours tetap utuh. Enggak peduli nanti kita pisah, Dfours bakal tetap berenam. Lo lupa?" Laras mencoba mengingatkan niat Stevy yang ingin geng mereka tetap utuh. Tidak peduli badai menerpa mereka, formasi Dfours harus tetap utuh. Bahkan Stevy tidak akan biarkan mereka pecah begitu saja. Lalu, mengapa hari ini Stevy begini?
Stevy sekali lagi memberi senyumnya pada Laras. "Itu mau gue .... Bukan mau kalian. Jadi, buat apa gue pertahankan?"
"Stevy-"
"Gue minta kalian pergi dari kamar ini. Gue perlu istirahat sekarang," sela Stevy menyela ucapan Dinda. Bahkan gadis itu tidak mau menatap semua teman-temannya. Ia memilih menunduk menata selimut dan tumpukan bantal di belakangnya.
"Stevy, gue-"
"Gue mau istirahat." Stevy sekali lagi kembali menyela. Kali ini ucapan Laras yang menjadi korbannya. Gadis itu memilih membaringkan tubuhnya di atas kasur. Membiarkan Kirana dan Dinda beranjak dari ranjang berukuran queen size miliknya itu.
Stevy memunggungi Laras. Memilih menatap tembok kamarnya dan menahan air matanya sekali lagi. Marissa beranjak dari pinggiran kasur. Menghampiri Laras dengan mangkuk bubur yang belum habis. Ia menepuk bahu gadis berambut panjang itu. Sekedar, menuruti permintaan Stevy. Pergi dari kamar ini dan membiarkan gadis itu beristirahat.
Laras menatap punggung Stevy sendu. "Stevy, gue balik dulu, ya?" pamitnya melirih.
Tidak ada jawaban. Stevy setia diam. Rungunya memang mendengar ucapan Laras. Hanya saja ia memilih tetap diam. Seperti sedang mencoba istirahat. Bahkan ia mencoba menutup mata. Meskipun, rasa kantuk tidak menyerangnya kali ini.
Laras yang tidak mendapat jawaban, memutuskan beranjak dari kamar Stevy. Diikuti Marissa, Dinda dan Kirana. Mereka keluar dari kamar temannya. Tidak lupa, Laras menutup pintu itu. Sembari hatinya terus menyesali apa yang ia ucapkan tadi. Jika Laras tidak salah bicara, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Dan Dfours masih bisa bertahan.
Suara derit pintu terdengar di rungu Stevy. Pintu tertutup itu memecah hening yang mulai tercipta setelah kepergian Laras dan lainnya. Sedangkan mata Stevy terbuka. Mata Stevy menatap kosong pada tembok kali ini. Pikirannya berlabu sejauh yang ia mau. Memutar kaset masa lalu yang begitu usang.
Stevy ingat bagaimana awal terbentuknya Dfours kala itu. Pertemuan mereka satu sama lain. Sampai, hal lucu dan mengesankan bersama mereka pun tercipta. Hari-hari yang penuh warna dan menyenangkan pun dilewati bersama. Rasanya itu hanya masa lalu yang akan menjadi kenangan. Karena setelah hari ini, Stevy harus menjalani harinya tanpa mereka lagi.
Tangis Stevy mulai pecah di saat yang sama. Ia pikir, bisa tetap bertahan melewati kesedihan karena Dfours masih ada di sisinya. Namun kali ini, entah apa yang membuatnya tetap tegar melewati hari. Mungkin hanya Bunda dan Kak Bian. Tidak ada yang lain.
"Ucapan lo bener, Ras. Kita bertengkar dan pergi setelahnya. Dan itu terjadi hari ini."
***
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sempiternal [✔️]
Romantizm[TAMAT DI KARYAKARSA] Sempiternal [adj] berarti abadi, kekal dan tidak berubah. ----------------------------------------------- Stevy berpikir hubungan persahabatannya akan selalu berjalan mulus, tetapi siapa sangka pernyataan cinta dari sosok Malvi...