Completed/Tamat
[Fanfiction About Sebastian Moy]
Di bawah cahaya jingga matahari sore, angin yang bertiup lembut memainkan helai rambut, dia menarik kedua ujung bibir membentuk senyuman.
Tampan. Sungguh, dia tampan sekali.
Namanya Sebastian Moy, ata...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
**
"Falla, lo baik-baik aja kan?" Kalia bertanya dengan ekspresi khawatir setelah menarikku keluar dari kerumunan orang-orang.
Sudah berapa kali aku mendengar seseorang menanyakan apa aku baik-baik saja?
Sudah lebih dari 20 orang malah.
Aku mengangguk. "Makasih udah bantuin, mereka gak berenti nanya, gue bingung harus jelasin kayak gimana lagi."
"Mereka cuma haus info, gak bener-bener peduli sama lo." Kalia berujar salty.
Aku tergelak. Lantas mengangguk.
Kampus begitu heboh dengan berita yang menyebar dari mulut ke mulut perihal kejutan gila Kevin untukku.
Sudah tiga hari termasuk hari ini, Kevin tidak ke kampus.
Orang-orang yang penasaran tak berhenti meminta konfirmasi dariku.
Mereka menggumamkan simpati meski aku tahu itu hanya palsu.
Yah, setidaknya aku tak menerima hujatan.
Palingan, dua sampai tiga hari lagi kehebohan ini akan mereda.
Selain Kevin, nama Lia juga ikut terseret.
Gadis jurusan seni lukis yang tak pernah dikenal banyak orang itu kini namanya bisa aku dengar dimana-mana dengan julukan 'babu Kevin'.
Miris sekali. Sungguh.
"Jadi, lo udah pindah?" tanya Kalia.
Aku mengangguk sembari mengeluarkan iPad dari dalam tas.
Aku ingin memeriksa modul baru yang diberikan professor di kelas pagi tadi.
"Ada tempat bagus di dekat rumah Justin. Gue nyewa seluruh lantai dua. Pemiliknya pensiunan tentara wanita yang suka travelling, kemarin dia pergi ke Madagaskar, katanya bakal pulang dua bulan lagi setelah berkeliling di Indonesia dan bertemu marsupilami di Madagaskar."
Kalia mangut-mangut. Keningnya berkerut. "Ada marsupilami ya di Madagaskar?"
Aku tergelak saja sembari mengangkat bahu.
Hari ini kelas cukup padat.
Ada dua kelas lagi sampai jam delapan malam.
Justin akan menjemputku nanti. Ia jadi lebih protective setelah kejadian itu.
Padahal aku sudah biasa pulang sendiri di malam hari.
"Falla, kamu bilang Justin yang bakalan jemput kan?"
"Iya,"
"Tapi yang dateng kayaknya bukan Justin deh,"
"Bukan Justin gimana?"
Kalia menunjuk ke luar jendela.
Kami masih berada di dalam kelas, menunggu tugas hari ini dinilai.
Dari jendela kelasku di lantai dua, aku bisa melihat Sebastian berdiri di halaman depan.
Kalia tau Sebastian saat kami tak sengaja bertemu di mall, ketika aku dan Kalia jalan-jalan santuy.
"Loh Sebastian?"
"Ah, iya namanya Sebastian ya. aku lupa," timpal Kalia.
Aku melirik Kalia sekilas bersamaan dengan itu ponselku bergetar.
Ada pesan masuk dari Justin yang bilang kalau Sebastian yang akan menjemputku serta screenshoot pesan antara Sebastian dan Justin.
Ternyata Sebastian sedang berada di luar sehabis syuting video klip sebagai model pakaian. Sebastian itu bekerja sebagai model, makannya tak aneh ia memiliki tubuh tinggi menjulang seperti tiang listrik.
Lalu, karena masih berada di luar Sebastian mengajukan diri untuk menjemputku.
Padahal dia sehabis bekerja. Apa dia tak lelah?
Apa dia benar-benar menyukaiku seperti yang Justin bilang makanya cowok itu menyempatkan waktu untuk menjemputku?
Apa aku berpikir berlebihan?
"Dia ganteng banget," bisik Kalia.
Aku setuju.
Meski kami hanya melihat wajah samping Sebastian yang menunduk fokus pada ponselnya.
Beberapa helai rambut gondrong cowok itu bergoyang di tiup angin.
"Kalo yang begini gue setuju lo pacaran sama dia, Justin juga kenal dia kan, daripada sama Kevin yang freak itu." Kalia berujar salty lagi.
Kami lalu berpisah di teras depan gedung.
Sebastian masih fokus pada ponselnya.
Barulah saat aku berjarak dua langkah darinya, cowok itu mendongak dan tersenyum.
"Hai,"
"Kok lo yang jemput?"
Ia terkekeh pelan. "Justin bilang mau jemput lo, kebetulan gue abis kerja di deket sini jadi, mending sekalian aja lo bareng gue pulangnya."
"Gitu ya, maaf karena lo harus nunggu gue dulu."
"Gak kok, gue juga baru dateng."
"Bohong, gue udah liat lo dari sana setengah jam yang lalu." Aku menunjuk jendela di lantai dua.
Seb ikut mendongak, lantas terkekeh canggung.
"Eh ketahuan ya, gapapa buat jemput lo mau nungguin berjam-jam gue juga kuat."
Aku berdecak pelan. Dia lebay sekali.
Selama perjalanan pulang, aku dan Sebastian hanya saling diam.
Ia fokus menyetir dan aku fokus melihat langit malam yang penuh bintang.
Musik dari speaker mobil mengalun dengan volume rendah.
Aroma parfume Sebastian yang samar berbaur dengan angin malam dari kaca mobil yang aku buka setengah.
"Falla," panggil Sebastian tiba-tiba.
"Heem," aku menoleh ke arahnya.
"Kalau gue bikin lo gak nyaman... maaf ya."
Kenapa dia tiba-tiba bicara seperti itu?
"Eh, kok lo ngomong kayak gitu? Tiba-tiba banget."
Sebastian tertawa canggung.
"Mungkin ini cuma perasaan gue aja. Lo... gue... hemm, gue rasa lo... maaf maaf." Sebastian mengigit bibirnya. Dia kelewat gugup hingga tak bisa bicara dengan benar.
Aku diam, menunggu ia menarik napas dan menghembuskannya.
Baru kali ini ada orang yang gugup bicara kepadaku.
"Lo benci sama gue ya?"
Loh? Kenapa jadi begini?
**
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Well, aku gak punya banyak fotonya Seb, jadi maaf ya di beberapa chapter ke depan ga ada preview Seb nya🙏