"Karena nyatanya, masalah sama saja seperti kematian, tak pandang bulu ingin datang kepada siapa."
Niolip
.Riuh tawa terdengar saling sahut-menyahut disebuah teras atas rumah yang lumayan terlihat besar dan megah. Beberapa orang remaja sibuk bercanda ria untuk menyelingi kegiatan belajar kelompoknya, agar tidak suntuk. Empat dari lima orang disana masih rapi mengenakan seragam sekolah. Ya, mereka langsung ke rumah ini usai pulang sekolah jam dua siang tadi.
Mentari terus merangkak menjauh ke bawah, ke sisi lain dunia, menampakkan langit-langit yang perlahan menggelap. Meski sudah sekitar empat jam mereka mendudukkan diri disini, mereka tak bosan sama sekali, karena pemilik rumah terus mendatangkan makanan.
"Kayrena, kamu mau kemana?" tanya seorang lelaki bernama Rangga yang menyadari si pemilik rumah hendak bangkit.
"Mau ambil pisang goreng, kayaknya mama sudah selesai goreng dibawah," ucap Kayrena, dengan pakaian rumahannya.
"Kay, ini gorengannya masih, jangan repot-repot begitu ... Mama kamu juga pasti sibuk," sahut Rangga lagi, lantas dibalas anggukan oleh teman-temannya yang lain.
"Nanti Widya sama Faro tambah full senyum. Tuh," sambung gadis bernama Geyna, menimpali ucapan Rangga sembari menunjuk dua teman di sebelahnya.
Bukan merasa tak enak hati, Faro malah menampilkan senyuman lebarnya dan mengangguk, "Jangan sungkan untuk ngambil lagi, Kay. Kasihan nanti pisang yang dibawah jadi dingin." Kalimat Faro mengundang tawa, dan Geyna hanya bisa menggeleng pasrah.
"Sabar, Ya ... ." Kayrena pun menghilang dari pandangannya mereka semua.
"Kayrena baik banget, mamanya juga wellcome banget sama kita. Nggak salah pilih rumah untuk kerja kelompok. Bayangin, kalau sekarang kita dirumah Faro atau Rangga—" Widya menjeda ucapannya.
"Auto kelaparan," Geyna menyahuti, dan disetujui oleh Widya. Faro dan Rangga tak terima, dan membalas dengan kerutan alis, "Kidding, bro ... ."
"Lagi satu, nih," celetuk Faro, tatapannya mengarah ke sebuah piring berisikan pisang goreng yang hanya tinggal satu.
"Lo, kalau mau, ya ambil ... Kalau nggak," Rangga memanjangkan tangannya, meraih pisang tersebut, "Buat, gue,"
Faro menyesali perasaan ragunya. Merasa kalah cepat oleh Rangga, lantas dengan kecepatan penuh ia meraih pergelangan tangan laki-laki disebelahnya itu. "Rangga yang baik ... Buat gue, ya?" Ia melembutkan suaranya, dan tersenyum. "Gue cinta banget sama pisang goreng."
"Faro yang baik ... Siapa cepat dia dapat, ya?"
Geyna dan Widya bertukar pandang, begitu geli dengan tingkah laku dua teman laki-lakinya itu. "Ewh ... ." celetuk Geyna panjang. "Pisang goreng direbutin, jangan kayak orang miskin, please," sambungnya lagi.
Rangga sedikit tak terima dengan kalimat pedas Geyna, "Iya, kita memang miskin."
"Ada apa ini ribut-ribut? Pisang gorengnya enak, ya? Siapa dulu, yang masak ... ." Suara berat tiba-tiba terdengar. Tampak tak diundang, sehingga membuat mereka berempat terkesiap akan hadirnya Papa Kayrena yang ternyata sudah ada di belakang mereka.
Rangga melepas pisangnya, begitupula dengan Faro yang membenarkan posisi duduknya. Hal ini membuat pisang goreng tersebut jatuh begitu saja ke atas karpet.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADKA
Teen Fiction"𝐓𝐞𝐫𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐀𝐝𝐫𝐢𝐚𝐧, 𝐬𝐢 𝐩𝐞𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤 𝐤𝐞𝐭𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧. 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧𝐦𝐮 𝐨𝐛𝐚𝐭, 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐫𝐛𝐞𝐬𝐚𝐫𝐤𝐮 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐮𝐚𝐭𝐤𝐮 𝐭𝐞𝐧𝐠𝐠𝐞𝐥𝐚𝐦 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐤𝐞𝐜𝐚𝐧𝐝𝐮𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧...