3. Manusia

137 49 17
                                    


"Tetap jaga diri, hidup kadang tak tahu diri."

Niolip
.

Kini berita di media benar-benar ramai membahas kasus Hendranata. Banyak dari mereka juga mempertanyakan bagaimana nasib perusahaan motor yang tengah naik di pasaran itu.

"Gila! Sahamnya turun 11% dalam lima hari?" celetuk seorang laki-laki yang tengah duduk di salah satu kursi ruang kelas sekolah.

"Sumpah? Demi apa? Lo serius?" balas satu lagi temannya yang ada didekat sana. Yang tadinya tengah membersihkan papan tulis, lantas membuka ponselnya dengan cepat.

"The power of sebuah kasus. Pesaing motor Davidto, auto party," celetuk salah satu murid disana lagi, dan tampak disetujui oleh beberapa orang. "Gimana nasibnya Kay, ya?"

Beberapa dari mereka langsung berpikir. "Gue kaget banget baca grup kelas kemarin, dengan beraninya dia ngaku kalau dia anaknya Hendranatha si cabul itu."

"Iya, ngamuk-ngamuk lagi. Nggak terima waktu Papanya dibilang cabul."

"Siapa yang lo bilang cabul?" Nada tak terima dari seorang gadis langsung terdengar dari pintu depan kelas, semua mata langsung tertuju ke arahnya.

Mereka semua terkesiap, mendapati sosok Kayrena yang sudah berdiri disitu, entah sudah berapa lama. Mereka yang tadinya sibuk membincangkan kasus papanya, kini memalingkan wajah dan melakukan hal lain untuk dikerjakan.

"Ratna, gue ngomong sama, lo." Kayrena kembali mengeluarkan kalimatnya. Dirinya dibuat kesal, dan tak terima ketika mendengar papanya yang dijelek-jelekkan seperti ini.

"Udah-udah," Laki-laki bernama Abraham yang sedari tadi duduk diatas meja dekat Kayrena berdiri, berkata. "Calm down, Kay, chill." Gadis yang diajak berbicara sama sekali tak menggubris ucapan Abraham, ia enggan bahkan hanya untuk menoleh.

Lantas, Kayrena pun melangkah menuju kursinya yang dimana terletak ditengah-tengah kelas, deret ketiga nomor ketiga. Ia menaruh tasnya kasar, dan duduk dengan wajah kusut.

"Lo kenapa baru datang langsung marah-marah, Kay? Harusnya 'kan ... Lo marahnya ke Papa, lo." Cibiran Geyna yang duduk kursi pojokkan, tak digubris oleh Kayrena. Ia mencoba mengatur emosinya agar tidak meledak seperti tadi, berusaha untuk tak mendengar tiap perkataan pedas yang senantiasa menusuk hatinya.

"Tenang, Kay. Lo baru sekolah setelah tiga hari nggak sekolah," batin Kayrena menguatkan imannya.

"Gey, jangan nyari masalah sama dia, deh," pungkas Raka, salah satu siswa laki-laki dengan tatapan merendahkan ke arah Kayrena. "OSIS aja dilawan waktu MPLS kemarin. Apalagi lo, baginya cuma butiran debu,"

Geyna terkekeh, "Ampun, sama si paling pemberani. Bapaknya aja berani nganu di kantor," balasnya, mengundang gelak tawa beberapa orang.

"Stop lah, Gey," seru satu lagi siswa disana. "Dia baru aja sekolah, loh. Besok nggak sekolah lagi gara-gara kalian gimana?"

"Haha ... ."

Perasaan Kayrena saat ini benar-benar tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Bagaimana bisa orang-orang membuat ia dan kasus papanya menjadi sebuah lelucon kelas. Bukankah ini sudah termasuk perundungan? Dan mengapa tak ada satupun yang ingin membantunya.

ADKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang