21 - Permintaan Pertama

3.6K 255 5
                                    

Dug!

Ziara terlonjak kaget saat kepalanya tak sengaja menabrak punggung Fathan karena berhenti secara tiba-tiba.

"Maaf, Pak." Reflek ia langsung mendongak.

Deg!

Detak jantung mereka berdua bersamaan berdegup kencang saat mereka bertatapan. Ziara tak menyangka jika Fathan langsung membalikkan badannya menghadap ke arahnya.

"Mau mesra-mesraan jangan di jalan dong," tegur salah satu pengunjung yang hendak keluar restoran.

Mereka tersentak dan langsung mengalihkan pandangannya.

"Maaf, Bu," balas Fathan ramah. Memang tak seharusnya ia berdiri di tengah jalan seperti ini. "Ayo masuk," ajaknya pada Ziara.

"Bapak duluan."

"Jalan sama-sama."

Ziara terpaku sejenak, lalu mengangguk setuju. Ia pun mencoba percaya diri.

"Mari." Fathan dan Ziara akhirnya berjalan bersamaan.

Fathan senang karena kini Ziara mulai berjalan dengan percaya diri.

Ziara kebingungan saat Fathan berjalan menaiki tangga menuju ke lantai atas. Padahal jika di lihat-lihat masih banyak meja kosong di bawah.

"Pak kenapa kita naik ke atas? Bukannya di bawah juga masih banyak meja kosong ya?" tanya Ziara di sela-sela ia menaiki tangga.

Fathan tersenyum. "Meja dibawah sudah di pesan oleh orang lain, jadi tidak boleh di duduki sembarangan orang," jelasnya dengan nada lembut

"Oh gitu." Ziara tersenyum kikuk. Ia malu karena begitu norak. "Maaf ya, Pak. Saya gak tau."

Fathan mengangguk paham. "Iya gak papa, kamu tanyakan saja pada saya jika kamu tidak tau."

"Iya, Pak." Ziara tak menyangka Fathan bisa selembut dan semanis ini.

Fathan menarik kursi. "Duduk," suruhnya pada Ziara.

Ziara menurut segera duduk di kursi tersebut. "Makasih, Pak."

Fathan ikut duduk, lalu melirik ke arah karyawannya. Ia mengangkat tangan kanannya memberi kode untuk mereka datang.

'Wih tinggal angkat tangan, langsung dateng.'Batin Ziara takjub.

"Silakan." Pelayan tersebut memberikan menu makanan dan minuman yang tersedia di restoran ini.

"Terima kasih," ucap Fathan langsung mendapat anggukan sopan dari pelayan. "Kamu mau pesan apa?" tanyanya pada Ziara.

"Hah?" Ziara terkejut karena di suruh memesan, jujur Ziara tak tau apa yang akan ia pesan. "Saya kayanya pesen minum dulu," balasnya sambil tersenyum paksa.

"Silakan buka menunya." Fathan menggeser buku menu ke hadapan Ziara.

Ziara segera membuka menu tersebut dan Fathan terus memperhatikannya dengan tatapan lekat.

Ziara mencari menu minuman. 'Pesen air putih aja deh.' Batinnya sembari mencari-cari menu air putih di buku menu tersebut.

"Hah?!" Reflek Ziara sedikit berteriak saat melihat harga sebotol air putih. Ia melongo tak percaya, bagaimana bisa harga air putih saja 80ribu. Ia ketar-ketir saat mengingat berapa uang yang ia bawa.

Fathan tersenyum melihat ekspresi Ziara yang begitu terkejut, namun itu terlihat lucu baginya. "Kenapa?" tanyanya lembut.

Ziara mendongak lalu menggeleng. "Gak papa, Pak," jawabnya karena tak mungkin ia berkata jujur. Ia kembali menatap ke buku menu berharap menemukan harga minuman paling murah.

'Es teh manis mana ya?' Batinnya mencari-cari.

Kedua matanya langsung melotot dengan sempurna ketika melihat harga es teh manis. 'Seratus dua puluh ribu?'Batinnya sangat shock. Baru melihat menu minuman saja sudah menggetarkan jiwanya apa lagi jika ia melihat menu makanan mungkin bisa membuatnya trauma membuka buku menu.

'Udah deh beli air putih aja karena cuma ini yang paling murah.' Batinnya lalu menutup buku menu.

"Udah? Mau pesen apa?" tanya Fathan.

"Saya pesen air putih aja, Pak."

Fathan terkekeh mendengarnya. "Kamu ada-ada aja, kalau cuma pesen air putih ya mending di rumah."

"Udah dong, Pak. Masalahnya disini makanannya mahal-mahal," bisik Ziara tak enak jika terdengar oleh pelayan.

"Mbak, bawakan saya makanan dan minuman terenak disini," pesan Fathan yang langsung di catat oleh pelayan.

"Baik, untuk minumannya?"

Fathan menatap ke arah Ziara terlebih dahulu. Kemudian tersenyum. "Air putih sama es teh manis aja."

"Baik, mohon di tunggu."

Pelayan tersebut pergi.

Ziara langsung membuka tasnya memeriksa berapa uang yang ia bawa sekarang. "Saya cuma bawa uang tiga ratus ribu, Pak. Kayanya gak cukup untuk bayar semua pesanan yang bapak pesan."

"Ziara, permintaan pertama saya. Saya hanya ingin kamu temui saya disini, bukan minta kamu untuk traktir saya makan."

Ziara diam sesaat mencerna ucapan Fathan barusan. Benar juga, Fathan hanya memintanya untuk menemuinya disini bukan meminta traktiran. Payah! Mengapa Ziara tidak sadar akan hal itu, ia sampai rela memecahkan celengan ayamnya.

"Kamu tidak perlu pikirkan soalnya bayarnya gimana, nanti saya yang bayar semuanya," tambah Fathan agar Ziara berhenti menghawatirkan itu semua.

Ziara menganggukkan kepalanya. "Iya, Pak."

Untuk mengisi kecanggungan ini, mereka berdua memilih untuk memainkan ponselnya masing-masing.

Fathan menatap layar ponselnya dengan lekat yang sedang membuka kamera yang di zoom ke cermin besar di belakang Ziara. Dimana pantulan layar ponsel Ziara dapat ia lihat di cermin tersebut, tidak mungkin ia langsung menatap ke cermin tersebut karena Ziara akan mengetahuinya jika ia sedang mengintip kegiatannya yang sedang membuka aplikasi chat.

Fathan memicingkan matanya saat melihat jelas beberapa pesan masuk di aplikasi chat Ziara.

Brayden.
Zi, balik jam berapa?

Shasa💘
Besok jalan-jalan yuk.

Bang Bani.
Baliknya jangan malem-malem de.

Fiki.
Brayden cemburu tau lu malmingan sama Fathan Zi.🤣

'Brayden? Emang dia suka sama Ziara?' Batin Fathan kesal.

Ziara.
Bentar juga balik.

Ziara membalas pesan Brayden. Fathan yang melihatnya memanas. Ck! Ia sangat tak suka mempunyai saingan. Apa lagi jika saingannya Brayden, karena Brayden anak orang kaya dan wajahnya juga cukup bisa bilang tampan. Walaupun lebih tampan wajahnya.

Brayden.
Gua tungguin ya, mau ngobrol bentar.

'Apa-apan sih Brayden, mau ngobrol apa juga dia sama Ziara?' Batin Fathan cemburu. Ia kesal mengapa Ziara terus membalas pesan dari Brayden.

"Ziara?" panggil Fathan karena tak mau membiarkan Ziara terus berbalas chat dengan Brayden.

Ziara tersentak lalu menurunkan tangannya yang memegang ponselnya. "Kenapa, Pak?" tanyanya sembari menaruh ponselnya di atas meja.






DAMBAAN GURU TAMPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang