23 - Diantarkan Pulang

3.5K 266 11
                                    

Ia mengerjapkan matanya, seolah tak percaya dengan apa yang Fathan langsung barusan.

Fathan menutup kaca helm yang di gunakan Ziara. "Takut kelilipan," serunya lalu kembali menyalakan mesin motor.

"Naik," perintah Fathan yang sudah siap untuk segera melajukan motor.

"Iyah." Ziara segera duduk di jok belakang.

Fathan menoleh saat salah satu karyawannya datang dari belakang restoran dengan membawa helm.

"Ini helmnya, Pak." Karyawan itu memberikan helm tersebut pada Fathan.

Ziara menyerengitkan keningnya dari dalam helm, bingung mengapa orang tersebut memanggil Fathan dengan sebutan 'pak'. Sebab, jika di lihat dari wajahnya, orang tersebut lebih tua dari Fathan.

"Terima kasih," balas Fathan mengambilnya dan langsung memakainya.

"Sama-sama, Pak. Hati-hati di jalan."

Fathan mengangguk. "Saya pergi duluan." Kemudian segera mulai melaju. Kecepatan motor yang di gunakan Fathan sedang, tidak lambat dan tidak cepat. Sebisa mungkin ia harus hati-hati karena membawa Ziara. Ia takut akan terjadi sesuatu jika membawa motor dengan kecepatan tinggi.

Walaupun memakai helm, Ziara dapat mencium aroma wangi parfum tubuh Fathan yang memiliki ciri khas tubuhnya. Ziara belum pernah mencium aroma parfum ini di gunakan oleh orang lain. Sepertinya parfum yang di gunakan Fathan mahal, sehingga tahan lama.

Fathan memutar kaca spion kiri agar ia dapat melihat Ziara dari belakang. "Ziara?" panggilnya membuat Ziara menarik ke atas kaca helmnya.

"Kenapa, Pak?" tanya Ziara dengan pendengaran yang ia pasang baik-baik agar terdengar jelas suara Fathan.

"Saya sangat senang. Akhirnya setelah sekian lama saya bisa merasakan serunya sensasi naik motor di malam hari lagi," tutur Fathan rindu membawa motor di malam hari. Sebab, sudah sangat lama atau mungkin terakhir ia membawa motor saat Sma dulu.

"Bapak seneng?" tanya Ziara dengan nada sedikit keras.

"Iyah, sangat seneng. Tambah seneng lagi karena naik motor bareng kamu," seru Fathan dengan nada rendah. Sengaja, agar Ziara tidak dapat mendengarnya dengan jelas.

"Apah, Pak? Gak denger!" teriak Ziara karena tidak mendengar jelas ucapan Fathan barusan.

"Kamu cantik!" ungkap Fathan dengan nada keras.

Deg!

Ziara tercekat, lalu mengembangkan senyuman di belakang karena ia pikir Fathan tak mengetahuinya. Padahal, Fathan bisa melihat wajahnya dari kaca spion.

Fathan ikut tersenyum saat melihat Ziara tersipu malu. "Ziara, jaga hati kamu untuk saya yah," suruhnya berbicara sendiri karena tau pasti Ziara tidak mendengar jelas suaranya.

"Apah! Bapak ngomong apa!" tanya Ziara kebingungan dan penasaran.

"Enggak! Saya cuma bilang malam ini sangat indah!"

Ziara tersenyum mendengarnya.

Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka sampai. Fathan menghentikan motor di depan bengkel Bani yang masih buka dan ramai banyak temannya menongkrong.

Bani dan temannya yang tadi asik mabar game online langsung berhenti, lalu berdiri menghampiri Fathan dan Ziara yang sedang membuka helm.

"Udah pulang, De?" tanya Bani.

"Assalamualaikum, Bang," salam Fathan sambil berjabat tangan.

"Waalaikumsalam. Kok ikut kesini, Bang?" Bani bingung karena mengapa Fathan ikut kemari.

"Iya, Bang. Soalnya gak mungkin saya biarin Ziara balik sendirian."

"Padahal mah gak papa balik sendiri juga, manja lu, De."

"Oh enggak kok, Bang. Saya yang maksa untuk mengantarkan Ziara."

"Oh gitu, yaudah makasih ya. Mau ngopi dulu gak, Bang?"

"Enggak, Bang. Lagi kali aja, sekarang saya harus buru-buru pulang sama ortu," tolak Fathan sopan.

"Oh yaudah, ayo saya anterin." Bani berniat mengantarkan Fathan agar Fathan tak usah repot-repot menunggu taxi atau kendaraan umum.

"Oh enggak, Bang. Itu temen saya udah jemput," balas Fathan sambil menunjuk ke arah mobil hitamnya yang terparkir di pinggir jalan. Sebelum keluar dari restoran Fathan memang sudah mengirimkan pesan pada salah satu karyawannya jika ia mengantar Ziara dengan motor, karyawannya harus mengikutinya dari belakang.

"Wih, gercep juga. Yaudah hati-hati di jalan."

Fathan mengangguk. "Iya, Bang. Saya balik dulu ya," pamitnya pada semua orang.

"Iya, Bro."

"Yo!"

"Kapan-kapan nongkrong lagi ya!"

Fathan kembali menganggukkan kepalanya. "Siap, nanti kabarin aja kalau mau nongkrong," balasnya lalu menoleh pada Ziara yang berada di sampingnya. "Saya balik dulu yah, kamu langsung masuk ke rumah udah malem gak enak di liat tetangga anak cewe masih di luar jam segini," pesannya dengan nada lembut pada Ziara.

"Iya, Pak. Sekali lagi makasih yah, itu helmnya gak di bawa?"

"Kamu simpan saja ya."

"Iya, Pak."

"Baik, assalamualaikum semuanya," salam Fathan sambil berjalan kecil.

"Waalaikumsalam."

Fathan berlari kecil saat menyeberangi jalan, ia langsung masuk ke dalam mobilnya. Kemudian, tak butuh waktu lama karyawannya segera melajukan mobilnya.

"Lu bawa apa?" tanya Bani saat melihat Ziara membawa paper bag makanan.

"Makanan," jawab Ziara seadanya.

"Yaudah buat gua sama temen-temen aja, kebetulan laper." Bani langsung merebut paper bag makanan tersebut dari tangan Ziara.

Ziara sedikit terkejut. "Bang!"

"Makan gays!" Bani memberikan paper tersebut pada Fiki.

"Makan-makan!" teriak Fiki lalu lari masuk ke dalam bengkel dan di ikuti oleh yang lain.

Bani hendak ikut masuk ke bengkel namun langsung di tarik oleh Ziara. Ia di tarik ke belakang bengkel oleh Ziara.

"Gak punya hati lo, Bang!" lontar Ziara dengan mata yang memerah.

"Apan sih lu."

"Lo mikir gak sih! Gue bawa makanan juga buat Nari, Lulu sama mama. Kenapa lo kasih ke temen lo!" bentak Ziara sangat sakit hati.

Bani memutar bola matanya dengan malas. "Udah tidur mereka, udah ah. Apan sih udah malem pake ngeributin makanan."

Air mata Ziara menetes begitu saya. Kakaknya sama sekali tidak berubah, selalu mementingkan temannya dari pada keluarganya sendiri. Walaupun Nari dan Lulu sudah tidur, ia bisa membangunnya dan ikut merasakan makanan mahal yang belum pernah mereka coba. Sedangkan temannya Bani, ia yakin bahkan hampir satu minggu sekali pun mereka sering makan-makanan mahal.

"Gue benci banget sama lo, Bang. Benci!" bentak Ziara dengan tangisan yang mulai pecah.

Bani berdecak malas.. "Dih pake nangis segala, kalau di denger yang lain gimana? Malu gue."

Ziara menghapus air matanya dan mencoba untuk tenang. "Pergi lo dari sini," usirnya karena percuma sampai mulut ia berbusa pun Bani tidak akan mengerti dengan semua perkataannya.

Bani tak menjawab, dan memilih untuk segera pergi.

Ziara duduk di teras rumahnya sejenak sebelum mengetuk pintu. Ia takut ibunya malah khawatir melihatnya pulang-pulang menangis.

Setelah berhasil menenangkan dirinya, Ziara segera berdiri lalu mengetuk pintu rumahnya. Ia membiarkan motornya di depan bengkel karena memang biasa di simpan di bengkel.

Tok tok.

"Assalamualaikum."

BAGAIMANA PART KALI INI?

JANGAN LUPA KOMEN AND FOLLOW AKUN AUTHOR YA.

DAMBAAN GURU TAMPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang