Pagi ini Jakarta masih diguyur hujan deras. Sudah lebih dari enam jam air itu menghantam atap rumah kediaman Dominic dan Arabelle dengan rapat.
"Kak, airnya udah mendidih, tuh." Tiba-tiba Aileen keluar dari kamar mandi dengan sehelai handuk di tubuh, melenggang santai melewati dapur dan ruang makan.
Dalam hitungan lima detik, pendarnya menatap gelembung-gelembung air di dalam panci dengan suhu minimal seratus derajat selsius. Sedang dua tangan perempuan itu sibuk menyambangi handuk.
Tak lama, terdengar deru langkah panik dari arah ruang tengah menuju dapur karena kalimat barusan. Seperti biasa, ibu rumah tangga seperti Arabelle, pagi-pagi sudah disibukkan dengan berbagai hal. Mulai dari menyiapkan sarapan untuk satu keluarga, kemudian mengantarkan anaknya Elia yang baru berusia lima tahun ke taman kanak-kanak.
Jarak Arabelle dengan Aileen terus menyusut seiring langkah tak santai milik sang kakak. Netranya fokus pada lilitan handuk yang membelit tubuh molek sang adik.
"Aileen!" Arabelle setengah berteriak pada mahasiswi yang sudah berusia dua puluh satu tahun itu.
Sekali lagi mata Arabelle menyapu pandang mulai dari rambut basah yang dibiarkan terurai sebahu dan handuk tipis yang membalut dada sampai paha putih milik adiknya. "Kalo Mas Dominic liat, gimana?" Netra Arabelle membola, memberi peringatan keras pada gadis di depannya.
"Tapi," tanggap Aileen santai, "dia buktinya nggak liat, kan?" Gadis itu melanjutkan langkah santainya ke ruang tengah lalu berbelok ke kanan, arah kamar yang sudah ditempatinya hampir tiga setengah tahun selama di sini. Gadis itu tak menanggapi serius kalimat sang kakak tadi.
Perempuan berusia tiga puluh satu tahun yang mendengar jawaban adik kandungnya itu merasa kesal. Apalagi Aileen tak menghiraukan omelan Arabelle dengan benar. Sesekali mulut ibu rumah tangga tersebut berdecak sebal sambil memasukkan ceker ayam mentah ke dalam panci yang telah mendidih sejak empat menit lalu.
"Pagi, Sayang." Dua tangan besar tiba-tiba melingkar di pinggang Arabelle dengan lembut. Pangkal kepala perempuan itu dikecup berkali-kali oleh sang pria; Dominic.
Tak membutuhkan waktu lama, kepala milik Dominic muncul dari arah bahu kanan Arabelle dengan mata menyipit. "Lho, pagi-pagi kok mukanya jutek?" Laki-laki itu berputar empat puluh lima derajat ke samping, menatap lekat-lekat sebuah ekspresi tak asing milik perempuan yang sudah dinikahinya hampir tujuh tahun.
"Hm. Mas bikin kesel kamu, ya?" Tebaknya sambil menjawil ujung hidung Arabelle gemas.
Kontan Arabelle menggeleng, "Nggak, kok, Mas," jawabnya melengkungkan senyum tipis.
Pria itu membalas senyum hangat istrinya dengan sesekali mengacak manja anak rambut Arabelle yang dikuncir kuda dengan asal. "Syukurlah," imbuh pemilik mata indah dengan manik cokelat muda itu.
Sekali lagi Dominic mengecup singkat pipi Arabelle sebelum tungkainya meninggalkan dapur yang mulai mengepul. Asap-asap gorengan itu berasal dari ebi furai kesukaan Elia, putri mereka yang masih tidur nyenyak dibalut sejuknya udara Jakarta karena hujan deras.
"Aku bangunin Elia aja, ya?" Dominic memutar setengah tubuhnya sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Arabelle.
Perempuan itu menatap suaminya singkat, "Iya, Mas."
Kemudian Arabelle tenggelam dalam kegiatan masak-memasak agar seluruh anggota keluarganya lekas menyantap sarapan pagi ini.
Dominic merupakan sosok ayah dan suami yang hangat bagi keluarga kecil mereka. Terlebih bagi Arabelle, perempuan pemilik hidung mancung tipis dengan rambut lurus sepinggang itu, pria ini seperti malaikat dalam hidupnya. Datang kala hati lelah karena telah lama mendamba sosok pria setelah kepergian sang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelakor Sedarah
RomanceArabelle dan Dominic adalah pasangan suami istri yang telah menikah selama tujuh tahun. Mereka hidup berkecukupan. Apa lagi dengan kehadiran anaknya Elia yang pintar dan cantik. Arabelle memiliki adik bernama Aileen. Mereka hanya dua bersaudara den...