"Oh iya, Pak." Ibu berusia empat puluh tahunan itu menegakkan tubuh dan bersandar ke bahu sofa dengan rileks.
Dominic yang beberapa menit lalu fokusnya pada ponsel segera balas menatap klien di depannya. Benda persegi panjang itu dimasukkan ke dalam saku kemeja kasual miliknya.
"Gimana, Bu?" Dominic memasukkan ruas jari-jarinya ke tangan satunya lagi, badannya agak condong ke depan, memberikan atensi lebih padanya.
"Saya mau cathering untuk seratus orang sama pelaminan mini aja, Pak," sambung si ibu. Suaminya yang kurus sejak tadi hanya mengangguk-angguk setuju.
Namun, gadis belia di sampingnya tiba-tiba menarik lengan sang ibu. "Aku nggak mau kecil banget gitu ah, Bu. Mau megah kayak Kakak dulu!" Dia merajuk.
Sang ibu menoleh ke arahnya sambil melepaskan tangan gadis itu kasar. "Kamu kan nggak kayak Kakakmu! Kamu itu bawa aib! Udah nurut ajalah," jawab wanita itu dengan nada agak tinggi.
Novan dan Dominic pun mendengar setiap kata yang keluar dari pertikaian mereka.
"Sudah, Pak, itu saja." Ibu yang memenangkan perdebatan akhirnya menoleh pada Dominic dengan raut lelah hati.
Novan tersenyum sambil mengangguk paham. Dia menuliskan setiap rencana klien di buku khusus miliknya.
"Di rumah, Bu?" tanya Dominic lagi dengan mempertahankan senyum.
"Iya, selepas isya," jawab beliau singkat.
Raut gadis belia di sampingnya makin muram. Dia keluar dari ruangan dengan wajah cemberut. Bahkan kedua kakinya berjalan dengan dientak keras-keras. Kemudian ibu dari si gadis segera memijit pelipis. Napasnya terdengar berat dan kasar.
Sementara di saku kemeja Dominic, ponselnya terus bergetar. Pasti Aileen sudah bosan menunggu.
Dominic berdiri dari sofa, tungkai jenjangnya melenggang ke arah kulkas di ruang tengah kantor. Dia meraih minuman dingin dari dalam dengan santai. Sudah saatnya dia dan semua karyawan makan siang. Tak lama Novan menyusul. Dia duduk di samping Dominic.
"Gimana?" tanya Dominic tanpa menoleh.
"Mereka sibuk berdebat dengan keluarganya di teras depan."
Napas Dominic dibuang kasar, lelah dengan klien jenis ini. Keluarga dan pengantin tak satu suara. Bukan satu atau dua kali gold wedding menjadi tempat percekcokan yang nyaman.
Biarlah.
Dengan penasaran Dominic melangkah cepat ke teras, melewati karyawan-karyawannya yang mulai lesu karena lapar. Ingin melihat perseteruan ibu dan anak kandungnya yang menikah karena kecelakaan itu.
Sepertinya dia terlambat, perseteruan itu telah usai. Bahkan jejaknya saja tak ada. "Mana mereka?" tanya Dominic pada siapa saja yang ada di sekitar situ.
"Tadi dilerai sama Bapaknya, terus naik mobil semua," jawab seseorang. “Mungkin pulang, Pak.”
"Lah, dia jadi booking apa enggak?" Dominic merasa diskusi tadi sia-sia.
Tak ada yang menjawab.
"Ya udah, sekarang waktunya istirahat." Dominic melangkah cepat ke arah mobil dengan wajah kesal.
Mobil miliknya melaju cepat di tengah hari saat matahari sedang tinggi-tingginya. Beberapa kali teleponnya berdering, pasti Aileen. Sudah lebih dari satu jam dia menunggu di kamar hotel.
Kamar nomor dua ratus lima belas. Saat seseorang membukakan pintu untuknya, wajah semrawut karena pekerjaan berubah menjadi senyum kebebasan. Tanpa berkata apa-apa, Dominic masuk dalam bilik kamar tersebut. Lantas seseorang yang tadi membuka pintu untuknya, dengan cepat menguncinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelakor Sedarah
RomanceArabelle dan Dominic adalah pasangan suami istri yang telah menikah selama tujuh tahun. Mereka hidup berkecukupan. Apa lagi dengan kehadiran anaknya Elia yang pintar dan cantik. Arabelle memiliki adik bernama Aileen. Mereka hanya dua bersaudara den...