14 - The Dinner

2.3K 176 18
                                    

14 - The Dinner

---

  Aku berdiri di depan kaca kamarku untuk memastikan sekali lagi penampilanku. Malam ini aku memutuskan untuk mengenakan sebuah dress simple berwarna hitam polos yang panjangnya mencapai beberapa senti di atas dengkul, yang memiliki bentuk seolah aku memakai rok padahal bahannya menyatu. Walau bagian atasnya sedikit ketat dan menunjukkan bentuk pinggangku, ia tetap tak memamerkan terlalu banyak kulit kecuali leher, lengan dan kakiku. Dan aku menyukainya.

  Karena aku memang tak terlalu suka dan mengerti banyak soal make-up, aku hanya memutuskan untuk mendandani wajahku seperti biasa—bedak tipis, maskara serta nude colour lipstick. Hanya saja aku memakai sedikit lebih banyak maskara dari biasanya. Sementara untuk rambut, aku membentuknya menjadi sebuah elegant bun. Well, aku tak tau apa rambutku ini benar-benar terbentuk elegant bun atau tidak, tapi yang jelas aku tak terlihat buruk dengan model rambut ini.

  Sedikit informasi, aku menghabiskan hampir satu jam untuk bersiap-siap.
And no, alasannya bukan karena aku memberantaki seluruh isi lemariku untuk menemukan dress yang tepat atau karena terlalu hati-hati berdandan. No. Aku hanya menghabiskan sekitar tiga puluh menit untuk mandi, mengeringkan rambut, mencari dress dan dandan. Sisanya kuhabiskan untuk memikirkan apa yang harus kupakai di kakiku.

  News flash: I hate high heels.

  Tak pernah sekalipun dalam hidupku aku memakai sepatu hak tinggi. Jika ada acara keluarga atau semacamnya, aku pasti selalu mengenakan flat shoes, seformal apapun acaranya. It's just—I don't know, melihat hak tingginya saja sudah membuat mataku sakit. Di rak sepatuku ada sekitar lima pasang high heels yang dibelikan Mama tiap ia berbelanja ke mall. Ia tau aku tak menyukainya, namun tetap membelikannya untukku serta belasan dress lainnya yang ada di lemariku, yang kurasa sudah terdapat sarang laba-laba saking jarangnya aku memakainya.

  Tapi untuk acara yang satu ini, aku merasa harus terlihat benar-benar rapih. Ya, sekarang hari Sabtu, hari di mana aku sekeluarga akan makan malam bersama keluarga klien Papa. Papa memang meminta untuk berpenampilan simple, namun aku tetap tak ingin memberi kesan pertama yang kurang bagus di mata Direktur klien Papa yang sejak lama sudah ia incar itu. I mean, ini sebuah kesempatan emas yang tak datang dua kali, bukan? They invited us to dinner, for God's sake!

  So, akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk menyempurnakan penampilanku dengan memakai sepatu hak tinggi berwarna hitam yang kira-kira berukuran 12 senti, yang sudah terpasang di sepasang kakiku. Well, sekarang aku hanya bisa mengatakan kakiku terlihat lebih jenjang dengan hak tinggi ini, tapi aku tak tau apa yang akan kukatakan ketika aku sudah berjalan nanti.

  "Kiddo! You ready?"

  Aku menoleh pada pintu kamarku, di mana Papa baru saja mengetuknya dari luar. "Come in, Pap!"

  Papa pun membuka pintu kamarku dan menyengir lebar seraya melangkah mendekatiku. Kurasa ia melihat ada sedikit perbedaan padaku, kemudian matanya turun ke kakiku dan kedua alisnya langsung terangkat tinggi-tinggi.

  "You're wearing heels!" serunya begitu ia sudah berdiri di sampingku. Ia bahkan tak menyembunyikan nada terkejutnya.

  Aku memutar kedua bola mataku malas. "It's not a big deal, Pap," gumamku.

  Papa berpura-pura melenguh mendengarnya. "It is a big deal! Who are you and what have you done to my daughter?"

  "Aku lepas nih ya,"

Philophobia [On Hold]Where stories live. Discover now