31 - Dramatic Silence

2.3K 156 97
                                    

31 - Dramatic Silence

---

  "Seriously, that's just so damn low. And stupid. And ridiculous. And unnecessary. And disgusting. And—OW! What the fu—OW!"

  Dengan secepat kilat kutolehkan kepalaku dari layar iPhone pada sosok di sebelah kiriku, sosok yang barusan berani-beraninya menendang kakiku dari bawah meja dua kali. Kulemparkan pelototan mautku pada Marco yang bukannya meminta maaf, tapi ini malah balik memelototiku. Mulutku sudah terbuka, hendak memberinya tuturan kalimat indahku namun suara seseorang telah lebih dulu memotongku.

  "Milla, dear, is everything alright?"

  Dengan itu aku langsung mengalihkan tatapanku pada sang pemilik suara itu sendiri, yang kini tengah memasang senyuman paksaan di bibirnya dan melihatku dengan mata yang sesekali memelototiku tajam. Dengan kata dear yang ditekankan dari pertanyaan Mama dan ekspresi di wajahnya itu, barulah aku tertampar oleh fakta dimana celotehanku beberapa saat lalu telah didengar oleh setiap pasang telinga di ruang makan ini. Atau lebih spesifiknya—telah didengar oleh Mama, Papa, Om dan Tante William serta Maria.

  Dan aku juga baru menyadari bahwa beberapa saat lalu Marco menendang kakiku dari bawah meja sampai dua kali bukan hanya sekedar iseng, ia sengaja melakukan itu untuk menyadarkanku yang sedang mengomel sendiri sekaligus menghentikan kata kasar yang hendak keluar dari mulutku.

  If I wasn't so pissed, I would thank him for doing that.

  But unfortunately, right now I'm too pissed to even care.

  "Of course, Mom, everything is juust fine." jawabku sambil memasang senyuman terlalu lebar pada Mama. "Everyone in this room had heard me talking to myself but that's fine because every 'normal' person does that, right? And now kaki aku mungkin udah lebam karena beberapa menit lalu ada yang nendang dari bawah meja—two times—but don't worry because as you can see, I'm fiiiine. Everything is fuc"

  "Oh!" seruan Marco seketika memotong kalimatku. Aku menoleh padanya dan melemparkannya pelototanku lagi, namun ia mengabaikan itu dengan memasang mimik seolah-olah ia baru menyadari sesuatu. "Itu tadi kaki lo yang gue tendang, Mills? Gosh, I'm so sorry! I didn't meant to do that on purpose, I swear,"

  'I didn't meant to do that on purpose', my ass.

  Aku hendak menyeletukkan balasan atas ucapan Marco namun bahkan belum sempat aku membuka mulut, ia sudah bangkit dari tempat duduknya, menarik tanganku paksa dan membuat tubuhku dengan refleks juga ikut bangkit berdiri.

  "Excuse us for a moment, please, I'm going to take care of her." ucap Marco cepat pada para saksi mata. Ia lalu mengalihkan tatapannya padaku. "Come on,"

  Tanpa menunggu jawaban para saksi serta persetujuan dariku, Marco langsung menggeretku melangkah menjauhi ruang makan dengan gesit.

  Namun dalam waktu yang amat singkat itu, aku masih bisa menangkap tiap ekspresi yang ada di wajah para saksi sembari Marco membawaku. Yang aneh dan mengejutkannya, hanya Mama satu-satunya saksi yang memberiku tanda bahwa aku akan mendapat masalah besar di rumah nanti. Ia tak memelototiku—heck, ia bahkan tak menatapku. Hanya dengan menundukkan kepala, memijat kedua pelipisnya sambil menggeleng perlahan, itu semua sudah pasti bukan pertanda yang baik.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 06, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Philophobia [On Hold]Where stories live. Discover now