15 - "We're friends, aren't we?"

2.2K 171 15
                                    

15 - "We're friends, aren't we?"

---

Aku tak bisa mendengar kelanjutan pembicaraan mereka karena suaranya mulai terdengar samar, menandakan mereka tak lagi teriak-teriak. Aku mengambil kesempatan itu untuk mengembalikan tingkat kenormalan nafasku yang tak karuan saking syoknya mendengar suara maskulin itu.

Seriously, clichè much?

Jangan tanya aku mengapa aku full on panic mode seperti ini, because honestly, aku juga tak tau. Mungkin karena kondisi yang berbeda--di mana aku tak memakai seragam sekolah atau semacam crop-tee dan waist hotpants, melainkan memakai sebuah dress imut, tatanan rambut yang berbeda dan oh, jangan lupakan high heels bodoh yang menempel di sepasang kakiku sekarang. Dan ini juga bukan sedang belajar di sekolah atau mengumpul santai di kamar sambil meneguk bir dan menonton film, melainkan sebuah makan malam formal antara dua keluarga.

"I DON'T WANT TO HEAR ANYMORE EXCUSES. DOWNSTAIRS, NOW." seruan Tante Diana kembali terngiang di telingaku.

"UGH! Do we really have to, Mama?"

Aku merasa kedua sudut bibirku tertarik ke atas mendengar betapa imut rengekannya itu, melupakan sesaat kepanikanku. Namun tak sampai tiga detik kemudian, aku langsung menghapus senyum itu karena sadar betapa konyolnya pikiranku barusan.

Imut? What the hell?

"Do you really have to ask, young man?" Tante Diana balik bertanya. Dengan itu suara mereka kembali samar-samar sampai akhirnya aku mendengar derap langkah kaki menuruni tangga.

Oh, shit.

"Sorry about that. Anak-anak saya kadang suka konyol dan keras kepala." tutur Pak Direktur sambil memasang senyum tak enak hati-nya.

Namun aku terlalu sibuk menutupi wajah dengan menempelkan dua jari tangan di kedua pelipisku sambil menundukkan kepala hingga tak sempat mendengar respon Papa atau Mama. Aku tau kerjaanku ini memang kecil kemungkinan untuk berhasil karena ia sudah mengenali wajah Michelle, but hey, at least I'm trying.

Suara langkah-langkah kaki itu terdengar semakin dan semakin dekat hingga sebelum aku menyadarinya, mereka sudah tiba di ruang makan.

"Hello, I'm-- hey, I know you! Micher, right?"

That idiot.

"It's Michelle." dari nadanya menjawab, aku bisa membayangkan ia sedang tersenyum memaksa sekarang.

"You two know each other?" tanya Pak Direktur.

Ada sedikit keheningan sebelum si suara maskulin menjawab, "Yeah, Papa, I know her. Oh and hello, Mr. and Mrs. Patricia, nice to meet you. I'm Marco and this is my sister, Maria."

Papa dan Mama membalas sapaan Marco dengan ramah dan tak lama setelah itu, aku menghirup wangi parfum vanilla dari orang yang baru saja duduk di hadapanku. Dan aku tak perlu mengadahkan kepalaku untuk melihat ia sedang memandangiku karena tanpa itupun aku sudah bisa merasakannya.

Karena semua sudah berkumpul, Pak Direktur pun mengajak kami semua untuk mulai menyantap hidangan yang sudah tersedia di meja makan. Aku melepas tanganku dari wajah, mengambil jatah makan malam untukku dalam posisi kepala yang terus menunduk, sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan cowok yang tak kusangka ternyata adalah anak dari Direktur W Group.

I think it all made sense now. Sabtu kemarin saat Papa memintaku untuk pulang dan memberitahukan rencana makan malam ini, Marco juga mengatakan bahwa ia juga harus pulang ke rumah, kurasa saat itu ia juga diberitahukan hal yang sama oleh Papanya. Soal motor yang ada di drive way itupun ternyata bukan sekedar kebetulan. Dan aku juga baru sadar, nama W Group itu bisa saja inisial dari nama belakang keluarga Pak Direktur yaitu William, sama seperti Papa menamakan perusahaannya dengan nama belakang keluarganya.

Philophobia [On Hold]Where stories live. Discover now