12 - "It's called 'sleeping', you should try it sometime."

2.4K 181 23
                                    

12 - "It's called 'sleeping', you should try it sometime."

---

  Aku mengabaikan semua orang di dekatku selama dua hari ke depan.

  Di rumah, aku tak keluar dari kamar kecuali saat Papa datang ke kamarku untuk mengajak makan malam. Tanpa perlu bertanya, ia sudah lebih dulu tau ada sesuatu yang terjadi padaku begitu menyadari aku tak banyak bicara di ruang makan. Beruntungnya, Papa tak memaksaku untuk menceritakan masalahku padanya, ia hanya mengatakan, "Just remember, I'm here if you need someone to talk to." sambil mengacak pelan rambutku.

  Selama dua hari itu, aku juga berangkat dengan mobilku sendiri—Honda Swift berwarna hitam yang Papa berikan sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-16. Aku sengaja tiba di sekolah tepat saat jam pelajaran dimulai, sementara di kelas, aku berpura-pura fokus pada setiap pelajaran yang dijadwalkan, kemudian kabur segesit Edward Cullen begitu bel istirahat atau bel tanda pulang sekolah berbunyi, sebisa mungkin tak memberi kesempatan pada salah satu dari the boys untuk bicara padaku.

  No, they didn't do anything wrong. Aku mengabaikan mereka karena aku yakin seratus persen, ketiga sahabatku itu tau ada sesuatu yang telah terjadi antara aku dan anak baru karena sama sepertiku, ia juga terlihat sibuk dengan dunianya sendiri belakangan ini. Aku tak ada niat untuk memperhatikannya, tapi yang jelas aku tak mendengar banyak kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kalau pun ada, suaranya terdengar dingin dan ketus. Tak perlu menjadi seorang peramal untuk mengetahui ada sesuatu yang terjadi antara kami.

  The boys mengerti aku sedang tak ingin diganggu. Mereka tau, jika aku sudah merasa lebih baik, aku akan kembali bersikap seperti biasa. Dan mungkin, aku juga akan menceritakan pada mereka tentang apa yang terjadi antara aku dan Marco.

  Marco.

  Ini hal teraneh yang tak pernah kurasakan sebelumnya, karena selain marah dan sangat ingin membabat habis rambut gondrongnya itu, ada sedikit perasaan bersalah dalam diriku karena sudah menamparnya.

  Keras, tambah sebuah suara di kepalaku.

  Yeah, whatever.

  Sampai di mana aku tadi? Oh, ya—merasa bersalah. Aku tak tau bagaimana bisa aku malah merasa bersalah padanya, padahal anak itu jelas-jelas sudah membuatku kembali teringat lagi akan masa lalu kelamku berkat aksinya. Dengan lancangnya mendekatkan wajahnya ke wajahku. And his words, though!

  ".. I'll lean even closer until there's no more space between our faces."

  That prick.

  Ini lebih aneh lagi. Padahal ia sudah menuruti perkataan terakhir yang kuucapkan di klinik—ia mengabaikanku, tak sedetik pun menatapku, let alone mengajakku bicara.. tapi mengapa sekarang aku malah ingin ia meminta maaf padaku? I mean, after all dia yang salah, bukan? I deserve at least an apology!

  But then again, jika ia nantinya akan meminta maaf padaku, apa aku akan memaafkannya?

Philophobia [On Hold]Where stories live. Discover now