28 - The Brother

1.9K 137 83
                                    

28 - The Brother

---

  Sempat terpikir di benakku, mengapa kemarin mood-ku sangat tak beraturan? Marah karena alasan tak masuk akal, membentak orang yang padahal hendak membantuku, lalu tiba-tiba sedih, lalu dalam beberapa puluh menit kemudian berbicara pada sebuah es krim dan menertawakan orang asing seolah kejadian-kejadian sebelumnya tak pernah terjadi. Aku yang biasanya tak akan pernah mau mengakui ada kebenaran dari kalimat Chiko di depan seseorang, aku yang biasanya tak akan terlalu memperdulikan seorang cewek yang hendak menggoda Marco dan aku yang biasanya, tak akan mau menjadi orang kurang waras yang meminta sebuah es krim untuk menikahiku.

  Aku tak sekonyol itu.

  Tapi pertanyaanku sudah terjawab hari ini, tepatnya tanggal 18 Desember. Which means, masa datang bulanku sudah tiba. Pantas saja tingkahku seperti anak umur 14 tahun kemarin.

  Setelah mengetahui itu, aku langsung memutuskan untuk tak pergi ke sekolah. Karena jika aku pergi, aku pasti akan menyaksikan tiga sahabatku itu bermain rahasia-rahasiaan lagi dan dengan kondisi datang bulan seperti ini, kemungkinannya besar untukku mengambil gadget mereka dan melemparnya ke dinding kelas. Aku tak mau mengambil resiko itu.

  Kini jam di dinding kamarku sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Sepanjang hari ini yang kulakukan hanya berleha-leha di kamar, memainkan games, menonton video-video random dari Youtube, setelah bosan aku memutuskan untuk tidur.

  Yang membuatku terbangun adalah nada dering pertanda adanya telepon masuk dari iPhone-ku. Aku berdecak kesal kemudian meraih iPhone-ku dari meja lampu, masih dengan mata tertutup, lalu mengangkat telepon tanpa ada niat melihat caller ID-nya.

  "What the hell do you want." aku bahkan terlalu malas untuk memakai nada tanya dari kalimatku.

  "I could totally hear how happy you are because I called you." sahut seseorang di seberang sana penuh sarkasme.

  Tapi bukan itu yang membuatku dalam sekejap sudah bangkit dari kasur dengan sepasang mata yang telah terbuka dan kini membelalak lebar. Suaranya yang amat familiar itulah alasannya. Kulihat layar iPhone-ku dan benar saja, nama dari peneleponku membuktikan bahwa aku tak salah dengar.

  "Are you crazy, woman?!" aku membentak.

  Aku menangkap suara rintihan kesakitan sebelum ia menjawab, "First, I'm physically and emotionally fine and second, I'm absolutely NOT a wom--"

  "DUDE, YOU'RE IN LONDON!" aku memotong kalimat kakak laki-lakiku dengan teriakan.

  Rintihan itu kembali kudengar lagi. "And third.. can you please stop screaming! You're hurting my ear!"

Philophobia [On Hold]Where stories live. Discover now