25 - Escape Plan Gone Wrong

1.9K 141 45
                                    

25 - Escape Plan Gone Wrong

---

  Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 1 siang ketika aku bangun dari tidurku.

  Setelah sekitar lima menit kuhabiskan untuk mengumpulkan nyawa, aku pun bangkit dari kasur dan bergerak ke kamar mandi. Kubersihkan wajahku dan menyikat gigi, kemudian mengganti baju tidurku dengan sweater polos berwarna abu-abu yang panjangnya mencapai pahaku, serta legging hitam untuk kakiku. Seusai menyelipkan sepasang sepatu boots, aku pun mengambil iPhone dan dompetku, lalu melangkah meninggalkan kamar.

  Di lantai bawah, aku langsung menemukan Papa sedang bersantai di ruang TV. Aku melompat duduk di sebelahnya, yang disambut langsung dengan senyuman hangat Papa sambil melingkari lengannya di pundakku.

  "Hey, sweety," sapanya. Ia lalu memperhatikan outfit yang kukenakan dan mengangkat suaranya lagi. "Going somewhere?"

  Aku mengangguk membenarkan sembari menjawab, "I'm in the mood for a coffee today. Papa tau coffee shop di deket sini ngga?"

  Tanpa perlu berpikir lama, Papa langsung membalas, "Ada, namanya Esprezzo Coffee House. Cozy kok tempatnya, Papa pernah beberapa kali ke sana. But not too near, though, kira-kira 10 menitlah kalau naik mobil."

  "Can you drive me there?"

  Papa mengerutkan keningnya mendengar jawabanku. "Emangnya kamu ngga—"

  "You know me lah, aku kan males kalo bawa mobil sendiri." potongku cepat, memasang senyuman polosku pada Papa. "Mau ya, Pap? Ya ya ya?"

  Papa sempat terdiam beberapa detik, memberiku tatapan menyelidik dengan menyipitkan sepasang matanya. Namun untungnya Papa tak mempertanyakan apa-apa lagi kecuali menyahut, "Okay. Papa ambil kunci mobil dulu."

  "Yay!" dengan itu, Papa pun beranjak menuju ke kamarnya. Tapi walau Papa tak bisa melihatku lagi, aku tetap masih belum bisa melepaskan nafas legaku.

  Tadi itu Papa bukan ingin menanyakan mengapa aku tak pergi dengan membawa mobilku sendiri. Papa tau—sangat tau—bahwa aku memang paling malas untuk menyetir. Aku juga sebelumnya sangat jarang memintanya mengantarku ke suatu tempat karena kemanapun aku pergi, aku pasti tak sendirian. Aku selalu bepergian bersama Kenzi, Chiko dan Rhesa menggunakan kendaraan salah satu dari mereka. Selalu begitu. Itulah yang membuat Papa nampak bingung.

  He's not stupid. Ia pasti merasa ada sesuatu yang salah.

  Salah satu buktinya adalah atmosfir kaku yang begitu kuat di antara aku dan Papa sekarang. Kini sudah lima menit berlalu kami berada dalam Range Rover milik Papa, dan sampai detik ini tak ada satu pun dari kami yang mengangkat suara. Aku hanya berpura-pura sibuk menatap ke luar jendela, namun aku bisa merasakan Papa sesekali menengok ke arahku. Fakta dimana radio tak dihidupkan pun tak menolong situasi sama sekali.

  Siang ini langit berwarna abu-abu gelap. Saat keluar rumah tadi aku juga sempat menjadi model iklan shampo sesaat berkat angin lumayan kencang yang mengibaskan rambutku. This is what I love about December. Walau di Indonesia tak ada salju dan hujan pertama di bulan terakhir ini masih belum muncul, besarnya ketenangan yang sukar dijelaskan dengan kata-kata tetap terasa sempurna untukku.

  "You know, we haven't talked in a while."

  Fokusku terhadap cuaca seketika buyar mendengar kalimat itu. Kedua alisku menyatu, baru menyadari betapa benarnya pernyataan Papa barusan. Bercakap yang Papa maksud itu bukan semacam basa-basi biasa seperti sapaan di pagi hari jika kami hendak ke sekolah atau kantor, kalau itu kami memang melakukannya. Yang ia maksud adalah percakapan yang sungguhan, dimana kami duduk berjam-jam membahas segala topik tanpa harus terburu-buru, let's call it a quality time.

Philophobia [On Hold]Where stories live. Discover now