9 - "Jeez eager much?"

2.8K 176 15
                                    

9 - "Jeez, eager much?"

---

  "Sumpah, kalo gue jadi itu emak-emak, ngga bakal gue mau masuk ke ruang bawah tanah sendirian. Mau dibayar berapa puluh juta kek. Ngga, makasih."

  "That means you're a wuss, then."

  "I'd rather being called a wuss, a pussy, a coward or a fucking loser daripada gue harus berurusan sama setan."

  Kuputar kedua bola mataku malas mendengar cetusan Chiko barusan.

  Kami berlima baru saja selesai menonton film The Conjuring. Dan kalau boleh jujur, di tiap adegan di mana mulai muncul intro-intro menyeramkan, teriakan Chiko pasti mengisi keheningan kamar, memecah keseriusan yang lain menonton. Bahkan teriakannya lebih cempreng daripada pemain film itu sendiri. Padahal si bodoh ini sudah berkali-kali menontonnya, malah kurasa ia sudah hafal di luar kepala dialog di cerita itu. Hanya Tuhan yang tau mengapa ia masih saja kaget dan ketakutan.

  Aku menguap lebar-lebar, merasakan sepasang mataku sudah mulai memberat. Kuambil iPhone-ku dari atas meja lampu dan menyadari bahwa sekarang sudah pukul 11 malam. Kubuka aplikasi WhatsApp kemudian mengetik pesan untuk Papa.

  SUPERHERO!

  Staying the night at Chiko's. Don't miss me! x

  Tanpa menunggu respon dari Papa yang mungkin sekarang juga sudah berada di alam mimpi, aku pun meletakkan kembali iPhone ke atas meja dan menatap Chiko.

  "Ko, kaos, dong,"

  Jika aku sudah meminta kaos padanya, ia sudah tau bahwa aku akan menginap. Ia menyengir girang kemudian berdiri dan melangkah menuju ke lemarinya. Tak lama kemudian ia melemparkan sebuah kaus miliknya yang sejak lama menjadi favoritku.

  Kaus ini berwarna hitam dengan tulisan The pada bagian depannya, dan 1975 pada bagian belakang. Chiko tak sefanatik aku soal The 1975, ia membeli kaus ini hanya untuk memamerkannya padaku. Dan ia berhasil membuatku sirik. Semakin lama, ia makin sering membiarkan aku memakai kaus ini sebagai piyamaku jika sedang menginap di rumahnya, namun tiap kali aku memintanya untuk sepenuhnya menjadi milikku, ia menolak permintaanku mentah-mentah.

  Pelit.

  Aku pun berjalan menuju ke toilet untuk mengganti bajuku dengan kaus milik Chiko. Jika hanya bersama salah satu dari tiga sahabatku, aku masih tak peduli kalau mengganti baju di luar. Tapi dengan kondisi di mana ketiga sahabatku ada semua dan ditambah dengan adanya Marco, kurasa mengganti baju di depan mereka bukanlah ide yang bagus.

  Man, kalian harus tau betapa lembutnya bahan kaus ini.

  Semua kaus-kaus milik Chiko dan kedua sahabatku yang lain selalu kebesaran denganku, panjangnya bisa sampai beberapa senti di atas dengkul, sama seperti yang kupakai sekarang. But that's a good thing, tho. Kaus ini bahkan sampai menutupi hotpants yang kukenakan.

  Ketika berjalan keluar dari toilet, aku melihat Marco sedang bicara dengan seseorang lewat iPhone yang menempel di telinganya.

  ".. I'm staying over at friend's place. Do you mind?" ia memutar kedua bola matanya malas namun tetap tersenyum pada apapun yang ia dengar dari seberang sana. "Yes, it's a guy friend, tenang aja - If you need anything just call me, okay? - Good. See you tomorrow, then - Love you, too."

  Love you, too?

  Mengatakan aku tak sedikit penasaran adalah sebuah kebohongan. Namun aku tetap pada sikap cool-ku seakan tak mendengar apa-apa sambil kembali melangkah ke kasur. Toh aku yakin sebentar lagi rasa penasaran kecilku akan terjawab.

Philophobia [On Hold]Where stories live. Discover now