[2] 66

205 28 27
                                    

Suara bakaran daging meramaikan malam yang begitu sunyi, kumpulan asap menguap dan menyatu dengan angin sejuk malam itu. Renjun yang biasanya menjadi tim langsung makan, kini ia menjadi bagian memasak. Bahkan, ia tidak memperdulikan jika daging yang ada di piringnya sudah mulai mendingin.

"Makan, Yah. Biar aku yang lanjutin." Juna dengan sigap berdiri disamping Renjun, anak sulung itu mengambil penjepit makanan serta gunting dari tangan Renjun.

"Eits! Udah, kamu aja yang makan." Renjun menolak tawaran Juna, bagaimanapun ia tidak ingin anaknya ikut bau asap.

"Di suruh, Bunda." Bak sihir, kalimat itu mampu membuat Renjun menyerahkan alat tempur memasaknya. Juna tersenyum, ia mulai membakar daging sembari mengintip Ayahnya yang langsung menghampiri Bundanya.

"Kenapa, sayang?" Ayumi menghentikan kunyahannya, begitu juga Rey. Mereka saling pandang sebelum kembali menatap Renjun, merasa ada yang aneh dengan cepat Renjun melepas sandalnya. Tanpa meleset, sandal itu tepat mengenai bokong anak sulungnya yang sedang terkekeh.

"Sayang, aaa.... " Renjun menerima suapan Ayumi, wanita itu tersenyum kegirangan saat Renjun menerima suapannya dengan wajah bak anak kecil ketika disuapi oleh sang ibu.

"Bun, kita ga bisa lebih lama lagi gitu?" Ayumi dan Renjun menatap kearah Rey. Bahkan, Juna yang baru bergabung pun menatap kearah adiknya.

"Kenapa? Kalian sebentar lagi ulangan, jangan kebanyakan libur." Bukan Ayumi yang menjawab, melainkan Renjun.

"Aku ... Pengen moment kayak gini lebih lama lagi, aku takut gabisa ngerasain moment ini setelah kita pulang. Bisa, ga? Kita disini aja, gausah pulang." Ayumi tertegun, merasa dejavu dengan perkataan ini. Ia seperti pernah mendengar kalimat itu, tetapi entah kapan dan siapa yang mengucapkannya.

"Apa yang lo takutin?" Juna menatap Rey, walaupun ia tau jelas mengapa Rey berkata seperti itu.

"Gapapa, takut aja." Ucap Rey begitu lirih, bahkan kepalanya kini tertunduk dan menatap jari jemarinya.

Ayumi tersenyum, ia sedikit menggeser posisinya agar lebih dekat dengan Rey - tentu saja dibantu Renjun -

"Apa yang mas takutin?" Sembari merangkul Rey. Ayumi mencoba meyakinkan anak bungsunya, yang sebentar lagi menjadi anak tengah.

"Takut semuanya, aku takut bunda kenapa-napa, aku takut dede kenapa-napa, aku juga takut kita gabisa kayak gini lagi. Aku ... Takut, Bun.... " Ayumi menahan tangisannya. Diantara Rey dan Juna, Reylah yang paling sering mengutarakan isi hatinya. Anak itu selalu meluapkan apa yang mengganjal di hatinya, jika kebanyakan orang melihat ia anaknya ceria dan hiperaktif.

Ayumi melihat anak ini begitu perasa dan pendiam. Bahkan, kedua anaknya itu tergolong pendiam. Tetapi entah kenapa, Rey seakan membohongi semua orang dengan kelakuannya.

"Rey ... Percaya sama Bunda, kalo setelah ini ga akan ada apapun yang terjadi. Semua ketakutan Rey ga akan terjadi, Bunda janji." Rey menatap Ayumi, air matanya sudah begitu deras membahasi pipi. Dengan cepat Rey memeluk Ayumi, melihat itu Juna dan Renjun langsung mendekat dan ikut memeluk mereka.

"Bunda janji, kalian ga akan kehilangan bunda." Ucap Ayumi sangat lirih, bahkan hampir tidak terdengar oleh siapapun kecuali dirinya.

•••°°°•••

Malam semakin larut, tetapi mata Rey belum juga bisa terpejam. Sudah beberapa posisi tidur ia ubah, tetap saja tidak ada posisi yang nyaman dan membawanya pergi ke alam mimpi.

Juna mengendus sebal, secara tiba-tiba ia beranjak duduk. "ANJENG!" Rey tentu saja terkejut, lampu kamar yang redup serta bayangan gorden menambah kesan horor ketika Juna mendadak terduduk.

ᴇꜱ ʙᴀᴛᴜ | ʜʀᴊTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang