[1] 30

4.1K 381 8
                                    

"kamu harus segera operasi hati mu, Ay." Ucap Luhan setelah membuka kaca matanya dan menatap gadis remaja yang duduk di hadapannya.

"Separah itu?" Tanya Yuto kepada temannya.

"Sorry, kalo ini ga bisa lo terima, To. Tapi hati anak lo, bener-bener ga bisa untuk di pertahan kan lagi." Ayumi menundukkan kepalanya, Sakura langsung memeluk adiknya upaya memberikannya semangat.

"Ga ada cara lain, atau obat? Ga ada obat yang bisa buat nyembuhinnya lagi?" Ucap Seilla memaksa untuk menolak operasi itu berlangsung.

"STOP MAH! AYUMI CAPE MINUM SEMUA OBAT-OBATAN ITU! AYUMI MUAK!" Yuta memeluk Ayumi yang hampir hilang kendali, Ayumi menangis di pelukan Yuta yang sedang menahan tangisannya.

"Ayumi cape mah. Ayumi cape kalo harus minum obat-obatan lagi, kalo emang jalan satu-satunya operasi, Ayumi gapapa."

"MAU NYARI PENDONOR KEMANA? KAMU PIKIR CARI PENDONOR ORGAN TUBUH GAMPANG?!" Bentak Yuto kepada anak bungsunya.

"BIARIN AKU MATI AJA KALO GITU." Yuta semakin mendekap adiknya dan membiarkan Ayumi menangis di pelukannya.

Sakura hanya bisa menangis tanpa suara mendengar perdebatan ini, bahkan Seilla sempat menampar Yuto yang berkata seperti itu pada anaknya.

"Kalo emang kamu gamau usaha, aku yang bakalan usaha cari pendonor buat anak ku." Yuto menatap Seilla tidak percaya.

"Kamu pikir selama ini aku ga berusaha untuk Ayumi, bahkan aku gagal mempertahankan Ayira hanya untuk Ayumi, La."

"Jadi maksud papah, Ka Ayira meninggal karena aku? Iya?!" Yuto menatap Ayumi lalu mengacak rambutnya.

"Shtt, sudah-sudah. Saya bakalan hubungi rekan-rekan saya, dan mencari pendonor hati." Ucap Luhan final.

"Ayy." Gue tersentak merasakan tangan yang menepuk bahu gue pelan, gue tersadar dari lamunan dan menoleh kearah Somi.

Somi melirik kearah depan dengan tatapan takut, gue bingung dengan tingkahnya sehingga membuat gue mengikuti arah lirikkannya.

Gue membelalakkan mata saat Bu Irene menatap dengan tatapan membunuh, sebenarnya hanya menatap gue biasa tetapi auranya seperti akan memakan gue hidup-hidup.

"Ayumi, kamu maju ke depan. Jelaskan ulang apa yang saya ucapkan tadi, dan beri contoh soalnya." Gue menggaruk tengkuk yang tak gatal, sungguh baru kali ini gue di tegur saat pelajaran Bu Irene.

"Maaf Bu, saya tidak memperhatikannya tadi."

"Kenapa kamu tidak memperhatikan penjelasan saya? Sudah pintar?"

"Tidak Bu, hanya ada beberapa masalah yang membuat saya kepikiran."

"Lain kali lebih profesional, kesampingkan masalah mu dan jangan terbawa di sekolah."

"Baik, Bu." Bu Irene kembali menjelaskan pelajarannya, tidak sedikit murid kelas yang menatap kearah gue terutama Renjun.

Somi mengusap bahu gue sembari menatap dengan tatapan seolah bertanya, "are you oke?" Gue hanya mengangguk dan menepuk tangan Somi.

Hina dan Herin bahkan tak berhenti menatap gue sedari tadi, terlebih Hina yang seolah meminta gue untuk bercerita padanya.

Ahh, gue memilih jawaban yang salah untuk pertanyaan Bu Irene tadi.

••°°••

Gue menuju masjid yang di sediakan sekolah, istirahat kedua memang di wajibkan untuk sholat Zhuhur terlebih dahulu bagi yang melaksanakan.

ᴇꜱ ʙᴀᴛᴜ | ʜʀᴊTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang