[2] 62

198 31 20
                                    

Hina membersihkan gel pada perut Ayumi, setelah itu ia langsung melangkah menuju meja kerjanya sedangkan Ayumi hanya menatap langit-langit ruangan Hina. Bayangannya masih tertuju pada detak jantung anaknya yang masih begitu lemah, kehamilannya sudah memasuki bulan ke delapan tetapi perkembangan anaknya begitu lamban.

"Setiap anak itu ga akan sama perkembangannya, lo cuman harus ngeyakinin dia kalo dia pantes hidup. Kalo lonya aja meragukan kemampuan dia bertahan, gimana dia mau yakin kalo dia bisa lahir." Ayumi memejamkan matanya lalu perlahan beranjak dari ranjang tempat usg, ia berjalan perlahan menuju sofa ruangan Hina lalu menatap Hina yang sedang menulis resep untuknya.

"Nambah lagi, ya? Vitaminnya." Tanya Ayumi dengan nada lesu.

"Ay...." Ucap Hina sembari menatap Ayumi, seakan paham dengan tatapan Hina, Ayumi hanya tertawa pelan lalu menyandarkan kepala pada dinding ruangan yang dingin.

"Kenapa keluarga gue selalu dapet ujian?" 

"Semua makhluk hidup pasti dapet ujian, semua udah di atur. Jalani aja, udah hampir pertengahan tiga puluh tahun lo berjuang buat hidup. Jangan nyerah, semakin lama ombak yang lo hadapin pasti semakin kencang." Hina beranjak dari tepatnya lalu memberikan resep obat serta vitamin untuk Ayumi.

"Tuhan aja yakin ngasih ujian seberat ini buat lo, masa lo ga yakin? Tuhan tau semuanya, Ay. Kalo dia sebagai pencipta aja yakin kalo lo bisa ngehadapin cobaan itu, kenapa lo malah mau nyerah?" Ayumi menatap selembar kertas yang entah isi tulisannya apa, karena Hina benar-benar menjadi seorang dokter yang tulisannya tak dapat ia baca. Berbeda seperti saat mereka masih bersekolah dulu.

"Renjun ada di ruangan, Jaemin. Lo di suruh nunggu disini, biar gue yag nebus obat, lo." Hina mengambil kembali resep obat yang sudah ia berikan, tanpa banyak bicara ia langsung pergi meninggalkan Ayumi yang masih bertengkar dengan pikirannya sendiri.

"Juna, Rey. Gue udah ngelewatin masa-masa itu, kenapa gue harus nyerah?" Ayumi menatap perutnya yang sudah begitu besar, ia belai lembut perutnya berharap akan ada pergerakan dari anaknya. Ternyata nihil, tidak ada pergerakan bahkan hanya pergerakan kecil dari perutnya.

"De ... Mas, Abang, sama ayah itu bener-bener nunggu kamu loh. Termasuk, Bunda.... "

"Tolong lahir dengan selamat ya sayang, kalopun kamu gamau gerak sekarang gapapa kok. Pasti kamu nyimpen tenaga kamu buat nanti kan? Kamu nyimpen tenaga buat jailin, Mas Rey. Kan de?" Tanpa sadar air mata Ayumi menetes mengenai perut besarnya, isakan Ayumi semakin menjadi sembari mengusap perut besarnya itu.

Sudah menginjak delapan bulan usia kandunganya namun, bayinya tak kunjung bergerak bahkan hanya sekedar menendang kecil perutnya. Sudah berbagai macam vitamin serta jamu yang ia minum, tetapi hasilnya sama saja. Bayinya seperti tidak ingin bergerak barang sedikitpun.

•••°°°•••

Seilla menatap putri bungsunya yang hanya berdiam diri di halama belakang, sudah hampir satu jam Ayumi hanya duduk di ayunan sembari melihat taman bunga miliknya. Ia sudah mendengar kabar jika kandungan Ayumi mengalami perkembangan yang begitu lamban, tetapi selama kehamilan Ayumi tidak pernah mengalami gejala yang sangat serius.

"Mah...." Seilla membalikkan badan, ia melihat kedua anaknya sedang menatap dirinya lalu melihat kearah Ayumi.

"Udah makan belum dia?" Tanya Yuta, pandangannya tidak lepas dari adik kesayanganya itu. Seilla menggeleng kepalanya, karena sedari awal Ayumi datang dia tidak mau makan walaupun hanya sesuap. Padahal Seilla sudah masak makanan kesukaan Ayumi bahkan makanan kesukaan Ayumi ketika sedang hamil Juna dan Rey, tetapi Ayumi tidak mau makan sama sekali.

"Renjun, kemana dia?" Kini Sakura yang bertanya, karena dari awal ia datang dirinya tidak melihat adik iparnya.

"Jemput kedua anaknya, mereka kayaknya mau pindah liburan buat beberapa hari." Yuta dan Sakura hanya mengangguk mendengar penjelasan Seilla.

"Abang mau coba bujuk dia makan dulu, makanannya mana?" Seilla langsung melirik meja makan yang terdapat piring penuh dengan nasi dan lauk, Yuta mengambil piring tersebut lalu melangkah mendekati Ayumi yang berada di ayunan.

Tatapannya sangat kosong, bahkan ia tidak menyadari kehadira Yuta disampingnya. Yuta menghembuskan napasnya sebelum mulai tersenyum dan mengusak perlahan rambut Ayumi, hal itu membuat Ayumi menoleh dan menepis perlahan tanga Yuta.

"Makan dulu, lo kurusan tuh. Kasian Renjun, gaenak liatnya juga."

"Gausah di liat, Renjun aja ga masalah ngapa lo banyak komen." Yuta menipiskan bibirya, sepertinya cara bercanda bukanlah hal yang tepat di kondisi saat ini.

"De ... Di perut lo itu ada nyawa juga, setidaknya makan buat dia." Terdengar helaan napas yang begitu berat dari Ayumi, tetapi pada akhirnya Ayumi mau menoleh kearah Yuta dan membuka mulutnya.

Yuta tersenyum melihat respon Ayumi, dengan perasaan senang ia menyuapi adik bungsunya itu. Ayumi menerima suapan Yuta lalu kembali menatap lurus kearah taman bunga milik mamahnya, ia masih terus bertengkar dengan pikirannya sendiri.

"Jangan terlalu banyak pikiran, selalu mikir positif biar anak lo nyerap energi positif juga." Yuta berbicara tanpa melihat kearah Ayumi, ia fokus menyendok makanan untuk suapan selanjutnya.

"Bang.... " Yuta hanya berdeham sembari menyelipan anak rambut Ayumi yang menghalangi wajah cantiknya, Yuta menaikan kedua alisnya menunggu perkataan Ayumi selanjutnya.

"Kenapa?" Tanya Yuta karena Ayumi tak kunjung melanjutkan perkataannya, adiknya itu hanya terus menatapnya dengan mata yang mulai sayu bahkan kantung matanya sangat terlihat jelas.

"Kalo nanti ade milih ngalah buat anak ade, abang gapapa kan?" Yuta diam sejenak, ia langsung tersenyum dan terkekeh perlahan sembari menyodorkan satu sendok penuh untuk Ayumi.

"Ngomong apaan sih kamu? Nih makan dulu." Ucap Yuta di selingi oleh tawa, ia benar-benar tidak menyukai topik yang mengarah kematian.

"Ade serius.... " Senyuman palsu Yuta meluntur, ia menatap Ayumi dengan lekat.

"Kehamilan ade ... Beresiko tinggi, seharusnya dari lama ade nyerah dan ga besarin anak ade. Tapi ngeliat Rey bahkan Renjun yang bener-bener nunggu dia.... "

"Ade mutusin buat ngelahirin anak ade, meskipun ade tau resikonya apa." Yuta meletakan piring yang ia pegang di meja taman, dengan cepat ia menarik Ayumi kedalam pelukannya. Tangisan Ayumi pecah begitu saja, mendengar Ayumi menangis membuat Yuta semakin mengeratkan pelukkannya.

"Kamu kuat, kamu maupun anak kamu pasti bakalan selamat. Tuhan ga pernah tidur de, dia pasti selalu denger setiap doa-doa kamu." Tangisan Ayumi semakin menjadi membuat Yuta ikut meneteskan air matanya.

Di belakang mereka terdapat Renjun, Juna bahkan Rey yang mendengar dengan jelas apa yang baru saja Ayumi katakan. Renjun memejamkan matanya, ia benar-benar merasa bersalah karena selalu berharap akan kehamilan Ayumi terlebih lagi ia mengetahui jika anak yang istrinya kandung adalah perempuan.

Tidak hanya Renjun, Rey pun merasakan hal yang sama seperti yang ayahnya rasakan. Ia benar-benar tidak mengetahui jika kehamilan bundanya begitu beresiko, bahkan bisa menyebabkan kematian. Tetapi bundanya tetap mempertahankan kehamilan itu, agar ia tidak kecewa karena sudah berharap lebih dengan kehamilan bundanya.

Juna hanya terdiam, pikirannya benar-benar kacau sekali. Bahkan untuk berpikir positifpun ia tidak bisa, banyak sekali bayangan-bayangan buruk menghantuinya. Ia tidak bisa bayangkan bagaimana kedepannya jika bunda meninggalkan dirinya, mungkin saja ia akan sangat membenci kedua adiknya bahkan ayahnya sendiri.






TBC


Hai hai haloo semuaaa, gimana nih kabarnya?? Udah lama ya kayaknya ga baca komenan random kalian.

Jujur deh, sebenernya aku rada ga semangat ngeliat komennya makin lama makin dikit, kayak aku kepikiran kalo cerita ku tuh ngebosenin.

Tapi aku mau usahain biar ini book selesai, pokoknya pasti end.

Doain aja ini book end di tahun ini ya ges, kalo bisa sih sebelum lebaran😭😭

Yaudah gitu aja deh, dadah laf yu kalian💚💚😻😻

ᴇꜱ ʙᴀᴛᴜ | ʜʀᴊTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang