[2] 67

206 33 34
                                    

Cahayanya begitu terang, bahkan gue ga bisa liat apa yang ada dihadapan gue saat ini. Tapi, suara bising itu udah sirna. Sekarang malah kedengeran suara yang begitu tenang, semacam... Taman?

"De..." Gue nengok kanan dan kiri, kayak ada yang manggil, tapi gue ga bisa liat apapun selain cahaya yang terang ini.

"Siapa?" Gue mencoba meraba sekitar, gue juga takut kalo gue nabrak sesuatu dan bakalan melukai perut gue.

"Kakak." Tangan yang begitu dingin menggenggam tangan gue, seketika saja cahaya itu perlahan menghilang.

Gue terdiam, badan gue kaku ngeliat siapa yang tersenyum dihadapan gue. Gue menggelengkan kepala, gue ngeliat kearah perut gue. Walaupun masih besar, gue tetap takut.

"Kak?" Ayira tersenyum, ia mengusap kepala gue perlahan.

"Udah lama kakak ga liat kamu." Walaupun sebenernya gue kangen, tapi jantung gue berdegup dengan cepat. Bilang kalo ini cuman mimpi kan? Kenapa gue bisa ada disini, kenapa gue bisa megang Ayira.

"Kak? Ini ... Ada apa?" Ayira melepaskan pelukannya, senyumannya perlahan luntur.

"Harusnya aku yang nanya kayak gitu, kenapa kamu bisa ada dihadapan kakak?" Gue mengerutkan kening, jawaban Ayira sama sekali ga membantu gue.

"Sebelum kakak ketemu aku, aku gimana?" Ayira tertawa perlahan, tawanya masih sama. Sangat anggun dan ayu, beda jauh dengan ketawa gue.

"Gimana apanya, de?" Ayira menarik lengan gue perlahan, ia mengajak gue duduk disalah satu bangku.

"Ini dimana?" Tanya gue tanpa berniat menjawab pertanyaan dia.

"Dunia yang seharusnya ga kamu datengin, kakak gatau kenapa kamu bisa disini. Keadaan hamil besar pula, tapi kamu ga bisa kakak ajak lebih dari sini." Sumpah, perkataan Ayira ga ada yang bisa gue pahami.

"Mungkin ... Kamu koma?" Mata gue membelalak sempurna, gimana kisah gue bisa koma sedangkan gue cuman lagi ngeliatin anak-anak gue sama suami gue bercanda.

"Lawak? Mana mungkin, ka!" Ayira menghembuskan napasnya, ia mengusap lengan gue perlahan.

"Terus ... Kenapa kamu bisa disini?" Lah Iya juga ya, tapi ga mungkin juga gue mendadak koma. Apa hidup gue segajelas itu?

"Cewek atau cowok?" Ayira mengusap perut gue, wajahnya keliatan seneng banget bisa liat gue.

"Cewek, ka. Aku bener-bener pengen dia lahir." Ayira tersenyum, dia natap gue dengan mata teduhnya.

"Semoga. Kamu juga, semoga ga menetap sama kakak disini." Gue cuman bisa senyum sembari natap cahaya dihadapan gue. Kosong, hanya ada cahaya putih disekitar gue dan ka Ayira.

"Ray, dia tumbuh besar. Kakak rawat dia sampe sebesar itu, dia nunggu kamu sama yang lain sampe waktunya kalian bareng-bareng lagi nanti." Perasaan gue campur aduk, mendengar nama Ray. Gue jadi pengen liat dia, sekali aja.

"Kak ... Aku bisa liat, Ray?" Ayira yang tadinya sandaran dibahu gue langsung beranjak, matanya terlihat sekali dia marah.

"KENAPA NGOMONG BEGITU?" Gue mengerutkan kening, kenapa ka Ayira malah marah begitu?

"Kok, ngamok?" Ayira memejamkan matanya, sembari menghembuskan napas perlahan. Ia kembali duduk dan bersandar disamping gue.

"Jangan ada pikiran kayak gitu, terakhir kamu disini dan kepikiran untuk bareng sama kakak kamu hampir ga selamat." Perasaan gue bener-bener campur aduk, apa yang diucapkan ka Ayira ada benarnya.

Tapi, entah kenapa gue bener-bener pengen ketemu Ray.

"Maafin kakak, mungkin karena berbagi nutrisi sama kakak. Kamu jadi yang paling lemah, kamu jadi sering sakit karena berbagi sama kakak." Gue memukul pelan bahu Ayira.

ᴇꜱ ʙᴀᴛᴜ | ʜʀᴊTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang