Bagian Dua Puluh Empat

1.7K 147 5
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Hayo pencet bintangnya dulu SOBAB⭐🕊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hayo pencet bintangnya dulu SOBAB⭐🕊

💗💗💗

Dalam sebuah mobil yang sedari tadi hening. Terdapat dua orang perempuan dan satu laki-laki. Selain hening, suasana canggung juga terdapat dalam kendaraan beroda empat itu. Bahkan tidak satu kata pun yang terucap dari mulut ketiganya. Hifza yang sering bicara kalau sedang di berada rumah pun kian membisu. Saat ini dia hanya terfokus pada air yang mengali pada kaca pintu mobil itu. Kelihatannya langit belum selesai menumpahkan air matanya. Seolah langit mengetahui bagaimana suasana hati Hifza saat ini. Meski dia yang berinisiatif untuk mengajak Cia pulang ke rumahnya, tak dapat di pungkiri kalau hatinya juga tersakiti. Sebagai seorang istri tentu saja dia khawatir jika masalalu suaminya itu berulah. Tetapi, sebagai seorang manusia dia berkewajiban untuk menolong saudaranya itu.

Namun, entah kenapa perempuan yang duduk di kursi belakang mobil itu terlihat ingin mengatakan sesuatu. Entah apa yang membuatnya menahan semua itu. Hifza yang menyadari tingkah perempuan itu dari kaca dalam mobil langsung menoleh ke arah belakang. "Kenapa? Ada yang mau di bicarakan?" tanya Hifza iseng.

"S-sebenarnya, sedari tadi a-aku mau menanyakan sesuatu," ucap perempuan itu. Hasby yang tadinya fokus menyetir, kian, melihat perempuan itu dari pantulan kaca. "Tanya saja jangan di pendam," sahut Hasby dengan tegas.

"Iya, Mas Rayyan benar. Tanya saja jangan di pendam," sambung Hifza meyakinkan.

"Kenapa kalian berdua mengajakku ke rumah kalian?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Hasby dan Hifza sontak saling melihat. Keduanya menghela napas berat, dan salah satu dari mereka bersiap untuk menjelaskan.

"Kami berdua bisa saja meninggalkanmu sedari dokter mengatakan kalau kamu sudah sadar,"

"Tapi, kami berdua juga seorang manusia yang memiliki perasaan. Kami berdua nggak bisa meninggalkan seseorang yang sedang sakit begitu saja. Terlepas orang itu kami kenal,"

Cia terdiam keketika setelah mendengar penjelasan itu. Tapi, entah mengapa perempuan itu sekilas malah menunjukkan senyum sampulnya. Senyuman yang tak biasa terlihat, seperti seseorang yang senang telah menyakiti musuhnya, seperti itulah bentuk senyumannya.

"Kalau keberatan Anda bisa langsung mencari tempat tinggal setelah sampai nanti," timpal Hasby kembali fokus pada jalanan.

"Nggak, kok, aku nggak keberatan," jawab Cia cepat. Seketika Hasby menggelengkan kepalanya tak percaya. Ada, ya, orang nggak keberatan tinggal di rumah orang lain. Sungguh, dia sangat bersyukur, Allah tidak mempersatukan dirinya dan perempuan itu. Tapi, dia juga terlihat merasa sedih. Bagaimana tidak? Seseorang yang dahulu sangat baik, entah kenapa sekarang berubah dengan drastisnya.

𝐆𝐔𝐒 𝐇𝐀𝐒𝐁𝐘 𝐌𝐘 𝐇𝐔𝐒𝐁𝐀𝐍𝐃 [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang