Seorang gadis duduk di bawah pohon mahoni dengan menyilangkan kedua tangan depan dada. Dia menatap pemuda yang tengah berdiri di depannya dari ujung kaki hingga kepala sambil bersandar ke kursi panjang tempatnya mendaratkan bokong. Sosok tinggi yang tengah mengunyah permen karet di sana menatap balik, membuat gelembung dari makanan di dalam mulut, lantas meledak sampai mengotori pipi.
Setelah membersihkan mulut, pemuda itu mengelap pipi dengan lengan jaket, merasa tidak keberatan sama sekali jika pakaiannya ternodai oleh sisa-sisa permen karet yang tidak lagi masuk ke dalam kunyahan.
"Jorok banget kayak babi." Komentar itu keluar dari mulut gadis berkuncir satu di sana, berhasil membuat pemuda berambut hitam lebat mendelik sambil berhenti mengunyah.
"Hei! Kamu enggak ada hak buat bilang gitu untuk orang yang pertama kali kamu temui!" protes pemuda tersebut, lalu memasukkan tangan ke saku jaket denim yang dikenakan.
Gadis berwajah mungil berdiri seraya merapikan kemeja abu-abu yang di badan, lantas menatap lawan bicara yang jauh lebih tinggi sampai menengadah. "Aku enggak peduli. Jadi, kamu Shankara, anak dari temennya Pak Fandi, 'kan?"
Pemuda bernama Shankara itu mengangguk dua kali. "Hm, aku Shankara Yudistira, kamu boleh panggil aku Shan atau Shankara. Salam kenal." Dia mengulurkan tangan ke arah si lawan bicara.
"Salam kenal, Shan. Saya Jian Amaya Ardini. Panggil Amaya. Enggak boleh ada panggilan yang lain." Amaya menatap uluran tangan Shankara, tetapi tidak menyambutnya. Gadis itu malah menatap wajah Shankara lagi, lalu berkata, "Saya harap kamu enggak buat banyak ulah hanya karena ibu kamu bayar saya untuk bantuin kamu jadi lebih pinter meski saya ragu itu."
Terlihat kerutan di kening Shankara, bersamaan dengan tangan menggenggam erat hingga bergetar pelan. Dia berdecih ke kiri, lalu menatap lagi Amaya dengan sedikit menekuk lututnya.
"Heh, Amaya. Jangan terlalu sok jadi orang—"
"Jum'at dan Sabtu sore sampai malam. Terus Minggu pagi," potong Amaya tanpa peduli dengan apa yang dikatakan Shankara.
"Itu hari kita ketemu buat belajar bareng. Jadwal bisa berubah sesuai waktu luang saya. Kalo kamu keberatan, saya enggak sungkan buat kasih laporan ke ibu kamu. Sekadar info, saya udah ada kontak beliau," tambah Amaya dengan menaikkan ibu jari kanannya beberapa saat, kemudian berlalu dari hadapan si lawan bicara.
Shankara masih melongo dengan apa yang baru saja terjadi. Dia memukul kepala tiga kali untuk memastikan bahwa semuanya nyata. Pemuda itu berbalik cepat, menatap punggung Amaya yang masih belum terlalu jauh melewati beberapa mahasiswa lain yang tengah berlalu lalang. Shankara berpikir jika ada yang salah telah menimpa hidupnya sekarang.
Setelah menyusul dan berhasil berada sangat dekat dengan target, Shankara hendak meraih pergelangan Amaya, tetapi karena langkah gadis itu jauh lebih luas dari perkiraan, Shankara malah tanpa sengaja menarik kemeja yang dikenakan Amaya, tepat pada bagian pinggang dengan cukup kuat sampai membuat tiga kancing terlepas.
Amaya berbalik, berusaha menutup kemeja dengan kedua tangan, setidaknya bagian dada harus paling dilindungi karena dia tidak menggunakan dalaman apa pun lagi selain bra pagi itu. Dia menatap sekitar, beberapa mahasiswa yang lewat tampak menatap ke tempatnya dan Shankara sekarang dengan pandangan yang sulit diartikan.
Usai menarik kembali genggaman dari apa yang telah ditarik, Shankara membuka mulut dengan kedua tangan di kiri dan kanan kepala, persis seperti penjahat yang ditangkap basah oleh polisi. Dia sama sekali tidak menduga jika kekuatan yang dikeluarkan untuk mengajak Amaya berdiskusi lagi terlalu kuat sampai menyebabkan masalah seperti ini.
"Ma-Maaf, Amaya. Aku enggak sengaja," ujar Shankara dengan menggaruk tengkuk sambil mengedarkan pengelihatan ke sekitar taman kampus.
Amaya menunduk, mengembuskan napas dalam, lalu menengadah dan menatap langsung wajah Shankara dengan tajam. "Kamu ... kamu emang—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Bersama Hujan [Tamat]
RomanceAmaya, seorang gadis yang tidak percaya dengan orang lain, menikmati kehidupan perkuliahan dengan biasa saja, bahkan cenderung sendirian. Dia tidak memiliki teman dekat meski hanya untuk berbincang sebentar saja. Pada semester lima, Amaya terpaksa m...