Perayaan ulang tahun jurusan telah dimulai, semua diselenggarakan pada aula fakultas teknik. Kedua jurusan mengadakan satu acara dalam waktu yang sama, benar-benar berkesan bagi semua orang yang hadir. Namun, tidak demikian bagi Shankara, di saat tiap raga di sana saling melompat karena malam puncak ditutup dengan lagu yang cukup meriah, pemuda itu malah berdiri di sudut ruangan, melihat sekeliling dengan tatapan yang cukup serius—seperti tengah mencari sesuatu.
Mata beriris hitam itu berhenti kala menemukan sosok mungil di tengah kerumunan yang tampak risih dengan segala gerakan orang-orang di sekitarnya. Shankara menurunkan tangan yang disilangkan depan dada, hendak beranjak dari tempatnya berdiri menuju sang kekasih yang terlihat kebingungan, tetapi langkah dari kaki jenjang tersebut diurungkan. Bukan tanpa sebab, melainkan sosok pemuda berambut gondrong hadir di sana, lantas menarik pergelangan tangan Amaya untuk menjauh daro kerumunan.
Shankara mengerutkan kening, lalu mengepal kedua tangan di sisi tubuh sampai urat tercetak jelas di sana. Dia menggertakkan gigi, membuat rahang tegas itu semakin terlihat. Semua yang terjadi selama dua minggu ini mengulang di dalam pikiran, tentang nama Bima di layar ponsel Amaya, sikap-sikap Amaya yang tampak seperti menutupi sesuatu, bahkan jarangnya sosok Bima untuk hadir ke semua pertemuan yang dia lakukan bersama Dion dan Soleh.
"Aku enggak mau dianggap pembohong sama Shan!"
Terakhir, percakapan yang tidak bisa dimengerti olehnya ketika tanpa sengaja mendengar perkataan Soleh kala dia ingin masuk ke ruangan himpunan, tetapi memilih untuk kembali karena tidak ingin mengganggu interaksi yang terjadi di antara para sahabatnya tersebut.
"Shankara! Tolong ambil microphone tambahan di gudang. Kita perlu itu nanti!"
Perintah dari salah satu koordinator acara membuat sang pemilik nama berbalik. Dia mendesah kecil karena merasa kesal tidak bisa mengikuti ke mana perginya Amaya dan Bima sebab tanggung jawab sebagai panitia peralatan untuk acara ulang tahun jurusannya.
Sementara itu di sebelah gedung aula fakultas, Amaya berusaha menarik tangan cukup kuat agar terlepas dari genggaman Bima. Dia mendesis kecil, lantas membetulkan blouse maroon yang dikenakan sambil memicingkan mata yang tertuju ke orang yang ada di hadapannya tersebut.
Bima mengacak rambut bagian depan, lalu berbalik menatap Amaya dengan kedua tangan di pinggang. Dia berdecih kecil, lantas mengusap wajah dengan asal.
"Kamu kenapa, sih, Bima!" protes Amaya agak meninggikan suaranya.
"Aku? Kamu yang kenapa, Amaya? File yang kamu kirim waktu itu salah semua. Kamu benar-benar ngerjain bagian kamu enggak, sih? Bukannya kamu sendiri yang bilang kita harus bagi tugas supaya jarang ketemuan? Tapi, kalo kayak gini apa tugas bakal kelar?" Bima tidak kalah marah, bahkan wajah pemuda bermata sipit itu memerah sekarang.
Amaya menarik napas cukup dalam, kemudian mengeluarkan perlahan. "Kalo kamu enggak minta saya untuk sembunyikan ini dari Shankara. Kita enggak perlu ngerjain masing-masing di minggu terakhir ini. Bukannya sejak awal kamu juga salah kasih sprite* yang kita butuhkan untuk game yang kita buat? Tapi saya coba maklumi dengan alasan kamu yang sibuk dengan kegiatan himpunan. Kamu pikir cuma kamu yang sibuk? Saya juga sibuk, Bima!"
Usai mengatakan semuanya, Amaya mengembus poni tipisnya, menunjukkan tanpa sengaja bekas luka yang ada di sudut dahi itu. "Kalo saya bisa maklumi salah kamu, apa kamu enggak bisa maklumi salah yang saya buat?"
Bima terdiam, menggigit bibir bawah karena menahan geram yang teramat. "Oke! Aku bakal maklumi kali ini. Tapi, aku mau seminggu penuh ini kita ketemu terus untuk ngerjain tugas itu. Gimana?"
"Tapi, waktu yang saya punya bukan hanya untuk—"
"Tiga hari. Kalo kamu enggak bisa seminggu, ayo, kita selesaikan tugas kita itu dalam waktu tiga hari lagi dimulai dari besok." Bima memotong kalimat Amaya. Pemuda itu menaikkan sebelah telunjuknya. "Dan, satu lagi, pastikan Shankara enggak tau soal ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Bersama Hujan [Tamat]
RomantizmAmaya, seorang gadis yang tidak percaya dengan orang lain, menikmati kehidupan perkuliahan dengan biasa saja, bahkan cenderung sendirian. Dia tidak memiliki teman dekat meski hanya untuk berbincang sebentar saja. Pada semester lima, Amaya terpaksa m...