Adik Soleh

43 14 0
                                    

Amaya duduk di gubuk yang berada dekat tepi sawah, memakan es lilin kacang hijau yang dibelikan oleh nenek Soleh beberapa waktu lalu di warung samping jalan. Dia menengadah, melihat dedaunan layu yang luruh dari pohon yang bersebelahan dengan bangunan kecil tempatnya duduk itu.

Setelah merasa pegal, Amaya menurunkan pandangan, memicingkan mata, lalu melihat semua temannya yang  bersama dengan nenek Soleh masih terlihat sibuk menyemai padi. Tampak Hani dan Juwita yang mengamuk karena wajah mereka terkena cipratan lumpur dari kaki Dion ketika berlari-lari di sana, ada Bima yang berusaha memberikan handuk kecil kepada dua gadis itu, diikuti Shankara yang tertawa sangat kencang kala menatap Soleh yang ketakutan karena melihat telur keong sawah yang lengket di batang padi. Bisa dikatakan, hanya nenek Soleh yang benar-benar bekerja keras di sana. Namun, meski begitu, Amaya samar-samar bisa melihat wanita tua yang menutup kepalanya dengan kain itu tersenyum hangat ketika mata bertemu dengan sang cucu.

Amaya tanpa sadar menarik kedua sudut bibir ke atas. Dia kembali memakan es lilin yang tinggal setengah di tangan hingga habis. Gadis itu menunduk, menatap kaki yang sudah berlumuran dengan lumpur sawah sampai ke betis rampingnya. Meski pelan, tetapi Amaya tertawa, lantas melihat lagi ke orang-orang yang sebelumnya dia perhatikan beberapa menit lalu.

Ternyata begini rasanya punya teman. Saya senang udah bisa kenal mereka semua.

Kala memandang Hani yang melambaikan tangan tersenyum lebar dengan wajah yang penuh lumpur, Amaya membalas sapaan itu, kemudian datang dengan membawa kantung plastik yang berisi es lilin.

"Tolonh sekalian minumnya, Amaya!" Itu Dion, pemuda dengan sebelah kacamata yang terkena lumpur berteriak cukup keras, bahkan beberapa pemilik lahan sawah yang lain sampai melihat ke sana.

Karena berlari dengan barang bawaan di dalam gendongan, Amaya tanpa sengaja tergelincir di tepi sawah karena sandal jepit putih yang dikenakan putus. Dia menutup mata rapat, berpikir akan tercebur ke tanah basah yang sudah berhasil mengotori hampir setengah dari tubuhnya hari itu.

"Ngapain pake sandal jepit ke sawah, kan nenek udah bilang untuk dibuka aja tadi." Bima menahan kedua bahu Amaya dengan satu lengan dari sebelah gadis itu.

Pemuda berambut dikuncir tersebut mundur pelan, kemudian mendorong agak kuat agar Amaya kembali ke tepi sawah. Dia berdiri di depan gadis itu, memegang kedua pundak ramping di sana, mengembuskan napas kuat, kemudian menggeleng beberapa kali.

"Terima kasih, Bima."

"Lain kali, lebih hati-hati lagi—"

Perkataan Bima terhenti ketika melihat tangan seseorang menggenggam lengannya. Dia menoleh ke kiri, bersamaan dengan mata Amaya yang ikut menatap kedatangan Shankara yang saat ini memandang si pemuda gondrong dengan tajam, terlihat jelas dari alis si pemilik rambut legam yang menukik dengan bibir sedikit berkerut.

Bima menatap tanpa minat ke arah Shankara. Dia melepaskan bahu Amaya, kemudian berdecih kecil. Setelah mengelap tetesan peluh yang jatuh ke dagu dengan tangan kanan, pemuda berkuncir menghadap orang di sisi kirinya.

"Kamu mau biarin aku pergi ke gubuk atau mau tetap tahan aku kayak begini?"

Karena pertanyaan itu, Shankara berkedip beberapa kali, seolah-olah tersadar dari segala emosi yang sempat dirasakannya. Dia melepaskan genggaman, bisa terlihat jelas rona merah di lengan Bima.

Setelah terbebas, Bima berjalan menjauh dengan naik dari sisi kanan Amaya, sampai akhirnya dia sengaja menyenggol tubuh gadis mungil itu dari belakang, membuat sang empu jatuh untuk kedua kali dari tepian sawah, tetapi kali ini, Shankara yang menjadi tumpuannya. Suara tawa licik pun terdengar dari Bima. Dia berlari kecil seraya terus menjauh dari sana.

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang