Hari Itu, Hujan Turun

111 18 19
                                    

Shankara menghirup udara lebih banyak, kemudian mengeluarkan secara kasar sebelum akhirnya meraih kenop pintu bangunan rumah megah yang ada di depannya siang itu.

"Aku pulang," ucapnya seraya kaki mulai masuk ke sana.

Sambil terus berjalan, Shankara melirik ke kiri dan kanan setelah melepaskan sepatu. Suasana ruang tamu bercat putih itu hening, hanya terdengar bunyi detik jarum jam dinding di atas televisi yang berhadapan langsung satu set sofa hitam yang ada di sana.

Shankara memandang ke meja tempat televisi di letakkan, tampak deretan foto dua orang anak lelaki yang saling merangkul dengan wajah kotor karena krim kue ulang tahun yang berada di salah satu tangan sosok menggemaskan di sana.

"Udah hampir enam tahun, ya, Kak," ujar Shankara, kemudian mengambil bingkai berukuran 2R tersebut.

Setelah lima menit lamanya, Shankara kembali meletakkan benda di tangan ke tempat semula. Dia berjalan menuju ruangan yang berada di bawah tangga, hendak masuk kamar, tetapi terhenti ketika suara kaca pecah terdengar dari lantai dua bersamaan dengan derap langkah turun di anak tangga.

Shankara mengerutkan kening, lalu mengembuskan napas kasar untuk kedua kalinya. Dia menunduk, menatap ubin hitam yang terlihat berdebu kala sandal tipis yang dikenakan bergerak pelan.

"Kalo bukan karena Shan, aku udah lama tinggalin kamu, Melan! Kamu pikir, ada laki-laki yang tahan dengan sikap egois kamu itu?"

Suara tinggi seorang pria terdengar jelas dari atas kepala Shankara. Pemuda itu menengadah, kedua tangan besar tersebut mengepal kuat di sisi tubuh, kemudian perlahan dia meraih kenop di depannya.

"Mas Bimo, Kamu pikir selama ini aku bertahan karena apa! Cinta? Enggak! Ini semua karena Shan. Aku enggak mau pendidikan dia terganggu karena masalah rumah tangga kita. Aku juga udah tahan-tahan, Mas, supaya enggak ribut. Tapi, bukan cuma sekali aku baca pesan Mas sama perempuan lain!"

"Berapa kali aku bilang, Melan, itu rekan bisnis. Kamu juga tau aku lagi sibuk belakangan ini. Kamu sendiri juga enggak pernah ada waktu di rumah, jangan berlagak seolah-olah kamu yang paling menderita untuk merawat anak kita! Aku udah bilang sama kamu, berhenti bekerja dan fokus dengan rumah aja. Kenapa kamu enggak mau nurut sama aku, sih!"

"Berharap dari gaji kamu yang pas-pasan itu, Mas? Enggak bisa. Kamu kira, kita bisa hidup dengan hanya dari gaji kamu sebagai karyawan di perusahan kecil begitu? Kalo bukan karena aku yang mati-matian kerja jadi pengacara, kita enggak akan bisa punya rumah sebesar ini, kita enggak akan pernah bisa sekolahin Shan di universitas yang bagus. Kamu harus tau itu, Mas!"

"Apa hidup sempurna begitu penting bagi kamu, Melan? Seharusnya kamu sadar! Karena kesibukan dan ambisi kamu itu, kita kehilangan Bintang beberapa tahun lalu!"

Shankara menghentikan niatnya untuk masuk kamar saat mendengar suara sang ayah yang lebih mendominasi saat ini, ditambah nama yang disebutkan beberapa detik lalu membuat sesuatu di dalam dada pemuda itu terasa nyeri. Pada menit selanjutnya, Dia berbalik, merasa langkah kaki yang sempat berhenti di atas kepalanya itu menjauh—mulai turun. Dia menatap sosok kurus berkulit putih dengan setelan baju kantor yang terlihat agak membulatkan mata saat bertemu pandangan dengannya.

Wanita itu membetulkan kacamata yang dikenakan, tersenyum kikuk, lalu menghampiri Shankara yang masih memandang tanpa ekspresi ke arahnya.

"Kapan kamu pulang, Shan? Udah lama?" ucap Melan seraya memegang sebelah bahu sang anak.

Karena kembali mendengar suara orang yang turun dari tangga, Shankara mengalihkan perhatian ke arah pria yang berada sedikit jauh di belakang ibunya.

"Shan, baru pulang? Udah makan?" tanya pria berbadan tinggi itu, kemudian tersenyum lebar.

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang