Aku Muak

42 12 0
                                    

Bima, Dion, dan Soleh membuka mulut lebar sampai siomay bumbu kacang yang dimakan mereka hampir keluar. Shankara menatap para sahabat dengan menggeleng perlahan, lalu menyodorkan tisu. Dia memegang bawah dagu ketiga insan di depannya, kemudian mendorong perlahan agar tertutup secara bergantian.

Meski sempat tertawa kecil, Shankara kembali menunjukkan ekspresi yang agak suram bagi siapa pun yang menatap sosok berahang tegas itu. Dia mengembuskan napas secara lembut, kemudian mengambil susu cokelat berkemasan kotak di atas meja untuk diminum.

"Jangan kaget kayak gitu, yang cerai orangtuaku bukan orangtua kalian," ujar Shankara usai meletakkan lagi minuman ke atas meja ruang tamu rumah Bima.

Dion menyenggol kedua orang di sisi kanan dan kirinya dengan siku, lalu tertawa kecil. "Teman-teman, berhenti, kita udah cukup untuk coba ikut-ikutan stresnya."

Setelah menelan makanannya, Bima mengelap mulut dengan tisu, lantas terkikik. "Kamu sekarang ikut klubnya siapa, ya? Soalnya Soleh udah ada bapak baru dan kamu enggak yatim kayak Dion."

Shankara menaikkan kedua bahu, lantas menatap Soleh yang menunjukkan Dion dengan sendok di tangan kanannya. "Dia bilang suka perempuan kayak ibu kamu. Kamu enggak mau coba jodohin ibu kamu sama dia?"

Karena mendengar penuturan itu, Shankara tertawa cukup keras. "Akan aku pikirin nanti."

"Aduh! Aku enggak mungkin log out, Bro. Tapi kalo ibu kamu mau log in jadi muslim, aku bisa usahakan. Perbedaan umur 20 tahunan enggak begitu ngaruh bagiku. Ibu kamu bener-bener tipeku." Dion mendesis di akhir kalimat dengan sedikit menelengkan kepala.

"Hidup kamu lagi kacau banget, ya. Putus sama Amaya, terus ibu dan ayah kamu resmi cerai beberapa hari lalu." Bima beropini usai mendorong piring sisa makanannya.

"Kamu enggak kepikiran bunuh diri, 'kan?" Itu Soleh. Pemuda berlesung pipi tersebut menyandarkan punggung ke sofa di belakangnya.

"Enggak, lah!" Shankara meninggikan suara. "Aku cuma berpikir untuk kasih jeda supaya enggak ketemu dulu sama ibu dan ayahku makanya mau nginep di sini beberapa hari setelah kurung diri di kamar tiga hari. Kalo soal Amaya, aku pikir, kami memang baiknya begini aja, kalo dipaksain juga kayaknya enggak akan dapat akhir yang baik."

"Kamu tau, Amaya itu cukup cerdas dan cantik, dia bisa dapatin yang lebih dari kamu. Kamu yakin mau lepasin gitu aja?" Dion menghisap sedotan susu stroberi kemasan kotak miliknya.

"Aku enggak mau sebenernya, cuma kalo terus coba untuk sama dia dan malah nyakitin dia, buat apa? Aku enggak mau dia merasa tertekan hanya karena lukanya di masa lalu itu." Shankara mengacak rambut asal.

"Aku pikir, bukan cuma Amaya yang perlu sembuh dari luka masa lalu yang aku sendiri enggak tau apa itu, tapi kamu juga perlu untuk berubah, Shan," timpal Bima yang disetujui oleh dua orang lainnya dengan mengangguk beberapa kali.

"Aku?" Shankara mengerutkan kening.

"Iya, kamu. Apa kamu lupa kata-kata yang kamu bilang ke Amaya malam itu? Kamu tuduh dia selingkuh dengan samain dia kayak ayah kamu. Kamu dengan mudah bilang hal itu, tanpa berpikir kalo Amaya belum tentu kayak gitu. Ditambah, kamu juga langsung pergi tanpa mau dengar penjelasan siapa pun." Bima kembali memukakan argumennya.

"Aku enggak pernah berpikir masalah orangtuaku akan cukup berpengaruh ke hidup aku," balas Shankara meyakinkan.

"Kamu enggak percaya sama Amaya, kamu tuduh Amaya selingkuh, kamu bahkan enggak mau dengar penjelasan Amaya." Bima menumpu kedua lengan di atas meja, lantas menaikkan satu telunjuk—mengarah ke si lawan bicara. "Apa kamu sadar kalian itu di dalam hubungan yang enggak sehat karena kamu yang masih takut kalo Amaya sama seperti ayah kamu?"

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang